body, a, a:hover {cursor: url(http://1.bp.blogspot.com/-EqdSuJ1lQr4/Tsl-wr7TSfI/AAAAAAAAAj4/hBoRlPJy8qM/s300/contoh-cursor.png), progress;
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
RSS

LIKE THIS (◑‿◐)

Say Hello to Riska (◑‿◐)

HATI NURANI


2.1       Pengertian Hati Nurani
Hati nurani berkaitan dengan kenyataan jika manusia memiliki kesadaran mengenai apa yang dilakukannya, apakah baik, buruk, pantas atau tidak pantas. Hati nurani memerintahkan atau melarang kita melakukan sesuatu. Pelanggaran atas apa yang diperintahkan hati nurani, berrati pelanggaran terhadap integritas diri kita sendiri
Hati Nurani adalahinstansidalamdirikita yang menilaitentangmoralitas
perbuata -perbuatankitasecaralangsung, kini, dandisini.
Sumber :Buku “ Etika ” karya K. Bertens  Hal : 56

2.1  Contoh Kasus persoalan hati nuranisebagaifenomena moral
Setiap manusia mempunyai pengalaman tentang hati nurani dan mungkin pengalaman itu merupakan perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai kenyataan.dengan memandang dari contoh kasus tentang pengalaman hati nurani yang dipilih oleh kami, kami berharap agarpengalaman tentang hati nurani itu bisa menjadi jalan masuk yang tepat untuk suatu studi mengenai etika.Berikut ini ada tiga contoh yang berbeda tentang pengalaman hati nurani :
·         Pada saat pembagian rapor kenaikan kelas seorang guru berbuat kecurangan dengan memberi nilai bagus pada salah satu muridnya karena si murid adalah anak pemilik sekolah tempat ia mengajar. Sebenarnya murid tersebut tidak pantas untuk naik kelas tetapi karena si orang tua malu anaknya tidak naik kelas, akhirnya si orang tua memberi uang suap kepada si guru tersebut agar anaknya dapat naik kelas. Si guru itu sebenarnya tidak ingin menerimanya tetapi orang tua murid tersebut memaksa, karena tidak ada pilihan lain akhirnya si guru menerimanya. Di dalam hati, si guru merasa tidak enak dengan anak didiknya yang lain karena sudah memanipulasi nilai. Tetapi bila tidak menerima uang tersebut, ia tidak bisa menyelesikan masalah keuangan yang sedang menderanya belakangan ini.
·         Seorang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diutus oleh atasannya untuk mewakilkannya dalam sebuah acara seminar yang diadakan disebuah daerah, acara pada hari itu ditutup dengan sesi pemberian kenang-kenangan yang diberikan oleh panitia penyelenggara. Tetapi hadiah tersebut ditolaknya karena kode etik KPK yang melarang menerima hadiah berupa apapun dari pihak manapun. Walaupun sudah ditolak tetap saja dipaksa untuk diterima, ia menjelaskan panjang lebar pada panitia tetapi hasilnya nihil, hingga akhirnya ada seseorang panitia yang tiba-tiba marah-marah karena merasa tidak dihargai. Dengan berat hati diterimanya hadiah tersebut, ia menyadari ini sudah melanggar aturan tetapi disisi lain ia juga punya hati untuk menghargai kerja keras orang lain.

3
2.2  Pemecahan masalah

Disini ada beberapa sub materi dari hati nurani sebagai nilai moral yang bisa dijadikan sebagai tindakan preventif dan represif dalam menanggapi contoh kasus di atas.
a.        Kesadaran dan Hati Nurani
Hanya manusia yang mempunyai kesadaran. Dengan kesadaran kita sebagai manusia, dimaksudkan untuk memiliki kesanggupan mengenal dirinya sendiri untuk berefleksi atau bercermin tentang dirinya. Untuk menunjukkan kesadaran, dalam bahasa Latin dan bahasa-bahasa yang diturunkannya, dipakai kata conscientia. Kata itu berasal dari kata kerja scire (mengetahui) dan awalan con- (bersama dengan, turut). Dengan demikian conscientia sebenarnya berarti “turut mengetahui” dan mengingatkan kita pada gejala “penggandaan” yang disebut tadi: bukan saya melihat pohon itu, tapi saya juga “turut mengetahui” bahwa sayalah yang melihat pohon itu. Sambil melihat, saya sadar akan diri sendiri sebagai subyek yang melihat. Nah, kata conscientia yang sama dalam bahasa Latin (dan bahasa-bahasa yang serumpun dengannya) digunakan juga untuk menunjukkan “hati nurani”. Dalam hati nurani berlangsung juga penggandaan yang sejenis. Manusia bukan hanya melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat moral (baik atau buruk), tapi ada juga yang “turut mengetahui” tentang perbuatan-perbuatan moral kita. Dalam diri kita, seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi moral perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Hati nurani merupakan semacam “saksi” tentang perbuatan-perbuatan moral kita. Kenyataan itu diungkapkan dengan baik melalui kata Latinconscientia.


b.       Hati Nurani Retrospektif dan Hati Nurani Prospektif
Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang sudah lewat. Contoh pada awal bab ini menyangkut hati nurani retrospektif. Hati nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencelah, bila perbuatannya jelek, dan sebaliknya, memuji atau memberi rasa puas, bila perbuatannya dianggap baik. Jadi, hati nurani ini merupakan semacam instansi kehakiman dalam batin kita tentang perbuatan yang telah berlangsung.
Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu atau seperti barangkali lebih banyak terjadi mengatakan “jangan” dan melarang untuk melakukan sesuatu. Di sini pun rupanya aspek negatif lebih mencolok. Dalam hati nurani prospektif ini sebenarnya terkandung semacam ramalan.
Simpulan bahwa hati nurani terutama berbicara dalam perbuatan itu sendiri pada saat dilakukan. Tapi bisa terjadi suatu orientasi ke masa lampau atau suatu orientasi ke masa depan: ke perbuatan yang sudah berlangsung atau ke perbuatan yang akan berlangsung lagi.
c.        Hati Nurani Bersifat Personal dan Andipersonal
Hati nurani bersifat personal, artinya, selalu berkaitan erat dengan pribadi bersangkutan. Norma-norma dan cita-cita yang saya terima dalam hidup sehari-hari dan seolah-olah melekat pada pribadi saya, akan tampak juga dalam ucapan-ucapan hati nurani saya.
Hati nurani diwarnai oleh kepribadian kita. Hati nurani akan berkembang juga bersama dengan perkembangan seluruh kepribadian kita: sebagai orang setengah baya yang sudah banyak pengalaman hidup tentu hati nurani saya bercorak lain daripada ketika masih remaja. Ada alasan lain lagi untuk mengatakan bahwa hati nurani bersifat personal, yaitu hati nurani hanya berbicara atas nama saya.

5
Karena aspek adipersonal itu, orang beragama kerap kali mengatakan bahwa hati nurani adalah suara Tuhan atau bahwa Tuhan berbicara melalui hati nurani. Ungkapan seperti itu dapat dibenarkan. Bagi orang beragama hati nurani memang memiliki suatu dimensi religius. Kalau ia mengambil keputusan atas dasar hati nurani, artinya kalau ia sungguh-sungguh yakin bahwa ia harus berbuat demikian dan tidak bisa lain tanpa menghancurkan integritas pribadinya, maka ia akan mengambil keputusannya di hadapan Tuhan.
Seperti akan dijelaskan lagi, hati nurani tidak melepaskan kita dari kewajiban untuk bersikap kritis dan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita secara obyektif. Tidak dapat dikatakan bahwa hati nurani merupakan hak istimewa orang beragama saja. Setiap orang mempunyai hati nurani karena ia manusia. Kenyataan itu justru menyediakan landasan untuk mencapai persetujuan di bidang etis antara semua manusia, melampaui segala perbedaanmengenai agama, kebudayaan, posisi ekonomis, dll.

d.       Hati Nurani Bersifat Personal dan Andipersonal
Terdapat suatu tendensi kuat dalam filsafat untuk mengakui bahwa hati nurani secara khusus harus dikaitkan dengan rasio. Kami juga berpendapat demikian. Alasannya, karena hati nurani memberi suatu penilaian, artinya, suatu putusan (judgement). Ia menegaskan: ini baik dan harus dilakukan atau itu buruk dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan putusan jelas merupakan suatu fungsi dari rasio.
Dapat disimpulkan bahwa kita tidak boleh bertindak sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Hati nurani selalu harus diikuti, juga kalau-secara obyektif-ia sesat. Akan tetapi, manusia wajib juga mengembangkan hati nurani dan seluruh kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang. Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan subyektif dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas obyektif dari perbuatannya. Pada orang serupa itu, yang baik secara subyektif akan sama dengan yang baik secara obyektif. Karena itu perlu kita pelajari lagi cara bagaimana keadaaan ideal itu bisa dicapai.

6
e.        Pembinaan hati nurani
Filsuf Prancis Gabriel Madinier (1895-1958) mengemukakan beberapa pikiran yang pantas diperhatikan. Tempat yang serasi untuk pendidikan moral adalah keluarga, bukan sekolah.Pendidikan hati nurani, itu harus dijalankan demikian rupa sehingga si anak menyadari tanggung jawabnya sendiri.
Tujuan akhir pendidikan sebagai keseluruhan adalah kemandirian serta otonomi anak didik, demikian juga di bidang moral. Anak-anak harus belajar menjalankan kewajiban mereka karena keyakinan, bukan karena paksaan dari luar. Ketakutan akan sanksi yang mewarnai permulaan kehidupan moral, lama-kelamaan harus diganti dengan cinta akan nilai-nilai.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

WRITES HERE (◑‿◐)