2.1 Pengertian Hati Nurani
Hati nurani berkaitan dengan
kenyataan jika manusia memiliki kesadaran mengenai apa yang dilakukannya,
apakah baik, buruk, pantas atau tidak pantas. Hati nurani memerintahkan atau
melarang kita melakukan sesuatu. Pelanggaran atas apa yang diperintahkan hati
nurani, berrati pelanggaran terhadap integritas diri kita sendiri
Hati Nurani adalahinstansidalamdirikita yang menilaitentangmoralitas
perbuata
-perbuatankitasecaralangsung, kini, dandisini.
Sumber :Buku “ Etika ” karya
K. Bertens Hal : 56
2.1 Contoh Kasus persoalan hati nuranisebagaifenomena moral
Setiap
manusia mempunyai pengalaman tentang hati nurani dan mungkin pengalaman itu
merupakan perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai kenyataan.dengan
memandang dari contoh kasus tentang pengalaman hati nurani yang dipilih oleh
kami, kami berharap agarpengalaman tentang hati nurani itu bisa menjadi jalan
masuk yang tepat untuk suatu studi mengenai etika.Berikut ini ada tiga contoh
yang berbeda tentang pengalaman hati nurani :
·
Pada saat pembagian rapor
kenaikan kelas seorang guru berbuat kecurangan dengan memberi nilai bagus pada
salah satu muridnya karena si murid adalah anak pemilik sekolah tempat ia
mengajar. Sebenarnya murid tersebut tidak pantas untuk naik kelas tetapi karena
si orang tua malu anaknya tidak naik kelas, akhirnya si orang tua memberi uang
suap kepada si guru tersebut agar anaknya dapat naik kelas. Si guru itu
sebenarnya tidak ingin menerimanya tetapi orang tua murid tersebut memaksa,
karena tidak ada pilihan lain akhirnya si guru menerimanya. Di dalam hati, si
guru merasa tidak enak dengan anak didiknya yang lain karena sudah memanipulasi
nilai. Tetapi bila tidak menerima uang tersebut, ia tidak bisa menyelesikan
masalah keuangan yang sedang menderanya belakangan ini.
·
Seorang pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), diutus oleh atasannya untuk mewakilkannya dalam
sebuah acara seminar yang diadakan disebuah daerah, acara pada hari itu ditutup
dengan sesi pemberian kenang-kenangan yang diberikan oleh panitia
penyelenggara. Tetapi hadiah tersebut ditolaknya karena kode etik KPK yang melarang
menerima hadiah berupa apapun dari pihak manapun. Walaupun sudah ditolak tetap
saja dipaksa untuk diterima, ia menjelaskan panjang lebar pada panitia tetapi
hasilnya nihil, hingga akhirnya ada seseorang panitia yang tiba-tiba
marah-marah karena merasa tidak dihargai. Dengan berat hati diterimanya hadiah
tersebut, ia menyadari ini sudah melanggar aturan tetapi disisi lain ia juga
punya hati untuk menghargai kerja keras orang lain.
3
2.2
Pemecahan
masalah
Disini ada beberapa sub materi dari hati nurani
sebagai nilai moral yang bisa dijadikan sebagai tindakan preventif dan represif
dalam menanggapi contoh kasus di atas.
a.
Kesadaran dan Hati Nurani
Hanya manusia yang mempunyai kesadaran. Dengan
kesadaran kita sebagai manusia, dimaksudkan untuk memiliki kesanggupan mengenal
dirinya sendiri untuk berefleksi atau bercermin tentang dirinya. Untuk
menunjukkan kesadaran, dalam bahasa Latin dan bahasa-bahasa yang diturunkannya,
dipakai kata conscientia. Kata itu berasal dari kata
kerja scire (mengetahui) dan awalan con- (bersama dengan,
turut). Dengan demikian conscientia sebenarnya berarti “turut
mengetahui” dan mengingatkan kita pada gejala “penggandaan” yang disebut tadi:
bukan saya melihat pohon itu, tapi saya juga “turut mengetahui” bahwa sayalah
yang melihat pohon itu. Sambil melihat, saya sadar akan diri sendiri sebagai
subyek yang melihat. Nah, kata conscientia yang sama dalam bahasa
Latin (dan bahasa-bahasa yang serumpun dengannya) digunakan juga untuk
menunjukkan “hati nurani”. Dalam hati nurani berlangsung juga penggandaan
yang sejenis. Manusia bukan hanya melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat
moral (baik atau buruk), tapi ada juga yang “turut mengetahui” tentang
perbuatan-perbuatan moral kita. Dalam diri kita, seolah-olah ada instansi yang
menilai dari segi moral perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Hati nurani
merupakan semacam “saksi” tentang perbuatan-perbuatan moral kita. Kenyataan itu
diungkapkan dengan baik melalui kata Latinconscientia.
b. Hati
Nurani Retrospektif dan Hati Nurani Prospektif
Hati nurani retrospektif memberikan penilaian
tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani
ini seakan-akan menoleh ke belakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang sudah
lewat. Contoh pada awal bab ini menyangkut hati nurani retrospektif. Hati
nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencelah, bila perbuatannya jelek,
dan sebaliknya, memuji atau memberi rasa puas, bila perbuatannya dianggap baik.
Jadi, hati nurani ini merupakan semacam instansi kehakiman dalam batin kita
tentang perbuatan yang telah berlangsung.
Hati nurani prospektif melihat ke masa depan
dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam
arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu atau seperti barangkali lebih
banyak terjadi mengatakan “jangan” dan melarang untuk melakukan sesuatu. Di
sini pun rupanya aspek negatif lebih mencolok. Dalam hati nurani prospektif ini
sebenarnya terkandung semacam ramalan.
Simpulan bahwa hati nurani terutama berbicara
dalam perbuatan itu sendiri pada saat dilakukan. Tapi bisa terjadi suatu
orientasi ke masa lampau atau suatu orientasi ke masa depan: ke perbuatan yang
sudah berlangsung atau ke perbuatan yang akan berlangsung lagi.
c.
Hati Nurani Bersifat Personal
dan Andipersonal
Hati nurani bersifat personal, artinya, selalu
berkaitan erat dengan pribadi bersangkutan. Norma-norma dan cita-cita yang saya
terima dalam hidup sehari-hari dan seolah-olah melekat pada pribadi saya, akan
tampak juga dalam ucapan-ucapan hati nurani saya.
Hati nurani diwarnai oleh kepribadian kita.
Hati nurani akan berkembang juga bersama dengan perkembangan seluruh
kepribadian kita: sebagai orang setengah baya yang sudah banyak pengalaman
hidup tentu hati nurani saya bercorak lain daripada ketika masih remaja. Ada
alasan lain lagi untuk mengatakan bahwa hati nurani bersifat personal, yaitu
hati nurani hanya berbicara atas nama saya.
5
Karena aspek adipersonal itu, orang beragama
kerap kali mengatakan bahwa hati nurani adalah suara Tuhan atau bahwa Tuhan
berbicara melalui hati nurani. Ungkapan seperti itu dapat dibenarkan. Bagi
orang beragama hati nurani memang memiliki suatu dimensi religius. Kalau ia
mengambil keputusan atas dasar hati nurani, artinya kalau ia sungguh-sungguh
yakin bahwa ia harus berbuat demikian dan tidak bisa lain tanpa menghancurkan
integritas pribadinya, maka ia akan mengambil keputusannya di hadapan Tuhan.
Seperti akan dijelaskan lagi, hati nurani tidak
melepaskan kita dari kewajiban untuk bersikap kritis dan mempertanggungjawabkan
perbuatan-perbuatan kita secara obyektif. Tidak dapat dikatakan bahwa hati
nurani merupakan hak istimewa orang beragama saja. Setiap orang mempunyai hati
nurani karena ia manusia. Kenyataan itu justru menyediakan landasan untuk
mencapai persetujuan di bidang etis antara semua manusia, melampaui segala
perbedaanmengenai agama, kebudayaan, posisi ekonomis, dll.
d. Hati
Nurani Bersifat Personal dan Andipersonal
Terdapat suatu tendensi kuat dalam filsafat
untuk mengakui bahwa hati nurani secara khusus harus dikaitkan dengan rasio.
Kami juga berpendapat demikian. Alasannya, karena hati nurani memberi
suatu penilaian, artinya, suatu putusan (judgement). Ia menegaskan: ini baik
dan harus dilakukan atau itu buruk dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan
putusan jelas merupakan suatu fungsi dari rasio.
Dapat disimpulkan bahwa kita tidak boleh
bertindak sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Hati nurani selalu
harus diikuti, juga kalau-secara obyektif-ia sesat. Akan tetapi, manusia wajib
juga mengembangkan hati nurani dan seluruh kepribadian etisnya sampai menjadi
matang dan seimbang. Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis,
putusan subyektif dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas obyektif dari
perbuatannya. Pada orang serupa itu, yang baik secara subyektif akan sama
dengan yang baik secara obyektif. Karena itu perlu kita pelajari lagi cara
bagaimana keadaaan ideal itu bisa dicapai.
6
e.
Pembinaan hati nurani
Filsuf Prancis Gabriel Madinier (1895-1958)
mengemukakan beberapa pikiran yang pantas diperhatikan. Tempat yang serasi
untuk pendidikan moral adalah keluarga, bukan sekolah.Pendidikan hati nurani,
itu harus dijalankan demikian rupa sehingga si anak menyadari tanggung jawabnya
sendiri.
Tujuan akhir pendidikan sebagai keseluruhan
adalah kemandirian serta otonomi anak didik, demikian juga di bidang moral.
Anak-anak harus belajar menjalankan kewajiban mereka karena keyakinan, bukan
karena paksaan dari luar. Ketakutan akan sanksi yang mewarnai permulaan
kehidupan moral, lama-kelamaan harus diganti dengan cinta akan nilai-nilai.
0 komentar:
Posting Komentar