body, a, a:hover {cursor: url(http://1.bp.blogspot.com/-EqdSuJ1lQr4/Tsl-wr7TSfI/AAAAAAAAAj4/hBoRlPJy8qM/s300/contoh-cursor.png), progress;
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
RSS

LIKE THIS (◑‿◐)

Say Hello to Riska (◑‿◐)

KUMPULAN PUISI EKO TUNAS



Kenapa Diam

Ketika Presiden datang ke kotamu dan
jalan yang mau dilewati rombongan presiden
dibersihkan dari pedagang kakilima
kenapa kau diam saja
Bahkan entah kenapa saat melewati desa
dengan jalan di kiri-kanan sawah dan kerbau
petani dilarang membawa cangkul

Apa yang salah pada sawah, kerbau, petani dan
cangkul: bukankah petani bekerja menanam padi
untuk memberi makan mereka, meski pun keluarga
petani rela makan sehari sekali atau hanya singkong
Dan benarkah kau diam saja saat di satu desa
presiden membagi beberapa ekor sapi yang
hakikatnya hanya untuk beberapa warga
sementara orang-orang desa dilanda kemiskinan

Dan ada kabar tentang mahasiswa yang
melakukan aksi menolak kedatangan Presiden
tapi para aparat membuat barikade perang
Bahkan dikabarkan seorang mahasiswa terluka
kepalanya berdarah karena dibenturkan ke truk
Apakah mereka tidak berpikir bahwa mereka
juga mempunyai isteri dan anak di rumah

Kenapa kau diam saja atas semua kejadian itu
kemana hati nurani yang pernah kau teriakkan
di masa revolusi sampai reformasi, apakah
sudah terkubur bersama kemanusiaanmu
Ataukah memang negeri ini sudah melupakan
Pancasila dan gotong royong yang menjadi
darah daging bagi kebangsaan kita

Lalu apa gunanya semua itu kau bangun
sambil menyanyikan Padamu Negeri:
bela pertiwi yang kau yakinkan sebagai
pembangunan manusia seutuhnya dan
masyarakat seluruhnya
Lihatlah wajah-wajah petani dan mahasiswa
sebagai wajah kita hari ini dan mendatang
kini termangu di bilik sunyi tanpa harapan

Dan kau tetap diam!

21 Februari 2013

(Didedikasikan untuk pedagang kakilima,
petani dan mahasiswa yang menjadi korban
kebanalan negeri tanpa Pemimpin)



WAKTU CINTA

Di satu waktu, pasti kita kan bertemu
setelah pertemuan dulu, di setiap ruang
sambil memahami: kota bukan kumpulan rumah
bukan peraturan, laba rugi dan bahasa
Masih ada tempat untuk kita, bahwa kita manusia
lalu kita berpisah, tanpa merubah tanda
untuk bertemu kembali, meski tanpa cinta…
2010



SMS Keramik di Sudut
Aku yang mengenalmu…
Yang tahu lekuk dan torehan 
keramik: misteri di balik tubuh 
Duka dan tidur, bahkan
kecantikan tanah airmu
Saat dinding yang membeku oleh air condition
berdetak dalam irama jarum jam
Aku yang memahamimu…
Yang mafhum bahasa mimpi
maha tanah: misteri konstruksimu
Sepi dan hasrat, juga 
rahasia keliatan ibu bumimu
Saat televisi yang hidup tanpa penonton
memberikan seberkas cahaya di ruang remang
Aku yang menjagamu…
Yang lebur dalam pusaran pusat
kerajaan: misteri universal piramida Cleopatra
Rumput liar dan lenguh kuda,
pun kuah di meja
 makan putar
Saat pusaran sprai membiarkan ponsel yang 
terus bergetar memangil-manggil namamu
Aku yang mencintaimu,
kenapa kau diamkan: tanpa sms!
Dan kau habiskan pulsa abadimu
untuk sesuatu yang akan meretakkan.
Semarang, 25 Desember 2005



Pusaran Sprai yang Ditinggalkan
Pusaran sprai yang ditinggalkan
Inikah hidup. Bahwa manusia sesungguhnyalah 
sendiri, meski berdua berjanji setia…
Meski berkata sebelum meninggalkan pembaringan,
“aku tak akan meninggalkanmu semenit pun!”
Burung malam terbang sendiri dalam gulita,
dan hinggap mengincar mangsa yang telah langka
di puncak menara gedung tinggi kota metropolitan
Sebuah ponsel di atas pusaran sprai barangkali
lebih berarti dari suara sirene tentang perampokan
Pusaran sprai yang ditinggalkan
Inikah cerita tentang manusia. Betapa manusia sebenarnyalah
sendiri, meski bersama berjanji sehidup semati…
Meski berkata sebelum ke kamar kecil,
“awas kalau kamu kirim sms I Miss You!”
Burung hantu terbang sendiri di atas kota megapolitan
dan hinggap menunggu dalam diamnya
di jendela menara gedung tinggi kota dunia
Sebuah ponsel di atas pusaran sprai mungkin
lebih berarti dari suara sirene tentang pembunuhan
Pusaran sprai yang ditinggalkan
Inikah sebuah hakikat. Bahwa hidup manusia sebenarnyalah
sendiri, meski berjanji se-ya sekata…
Meski mengulang kalimat sebelum tidur,
“hidup dimulai dari cerita dan berakhir pada cerita!”
Burung malam terbang sendiri ke kota-kota dunia
dan hinggap menunggu dalam kesendirian
di puncak menara gedung tinggi kota Jakarta
Sebuah ponsel di atas pusaran sprai mustikah
lebih berarti dari suara sirene tentang kerusuhan.
Semarang, 25 Desember 2005




Sebuah Ponsel di Atas Sprai
Sebuah ponsel yang bergetar di atas sprai
dan dibiarkan. Pinggul bersingsut membuat pusaran.
Lampu kota di jendela kaca, mungkinkah 
bom bunuh diri akan diledakkan
Mungkinkah bisik lebih bermakna; bisik 
tentang keletihan hidup. Begitu rutin, menjemukan, 
katamu. Dan sekarang giliran merebut makna
yang lebih berarti dari sebaris sms I Miss You…
Sebuah ponsel dengan pijaran cahaya di ruang remang
dan tak tersentuh. Lengan bertumpu membuat lekukan
Kota yang hidup duapuluh empat jam, mungkinkah
bom akan meledak dalam radius kilometer
Mungkinkah desah lebih bermakna; desah
tentang makna percumbuan. Melupakan yang musti dilupa,
walau beberapa menit. Begitu berarti tiba giliran
merebut makna ketimbang sepotong sms I Love You…
Sebuah ponsel dengan mata kucing di kegelapan
dan tak henti memanggil. Tubuh menyatu membuat helaan
Kota yang membangun kota dunia, mungkinkah
bom akan meledak tanpa kabar siapa bertanggungjawab
Mungkinkah rintih lebih bermakna; rintih
tentang makna persetubuhan. Mengawang, melangit
walau sekejap. Inikah arti sebuah makna sampai pada giliran
merebut arti hidup daripada sekalimat sms I Kill You…
Semarang, 25 Desember 2005



Wanita yang Berjalan Ke Kamar Kecil
Aku suka wanita yang berjalan ke kamar kecil
Aku suka garis itu, garis batas antara sepi dan mimpi
Seperti tanda seru dan titik galibnya. Setelah ia 
menorehkan lipstik pada cermin kaca di dinding,
meski ia tak menyelesaikan gambarnya…
Aku suka, justru karena kami belum selesai
Cerita belum rampung, dan cahaya masih remang
Perseteruan adalah makna airmata pada bantal
Sms belum selesai ditulis, masih mengeja singkatan cinta
Aku suka wanita yang berjalan ke kamar kecil
Aku suka warna itu, warna apa pun dalam keremangan
Sebab setiap warna suci galibnya. Setelah ia 
menorehkan warna merah pada cermin kaca di dinding,
meski sengaja tak menyelesaikan gambarnya…
Aku suka, justru karena kami belum selesai
Cerita belum usai, dan tirai masih tertutup
Perseteruan adalah makna airmata pada kecupan
Sms belum rampung ditulis, masih mengeja singkatan hidup
Aku suka wanita yang berjalan ke kamar kecil
Aku suka kekuatannya, batas antara nilai dan institusi
Bahwa kekuatan galibnya adalah kehadiran, Setelah ia
menorehkan garis tajam pada cermin kaca di dinding
meski biasa saja saat tak menyelesaikan gambarnya…
Aku suka, justru karena kami belum selesai
Cerita belum lagi purna, dan kostum belum dilepaskan
Perseteruan adalah makna airmata pada mata
Sms belum lagi habis ditulis, masih mengeja singkatan mati
Semarang, 26 Desember 2005



Sebuah Ponsel Berdering

Sebuah ponsel berdering, dan seorang gadis termangu
Wajahnya bulan, tangannya mendekap jantung hatinya
Pohon kamboja berkabar tentang kematian kekasih
Seorang pria bermain-main irama ponsel, menunggu
wanita baya usia yang tahu hasrat lelaki muda
Mendung di langit biru seperti gumam Sang Oidipus
memanggil-manggil nama ibu yang melahirkannya 
sekaligus membangkitkan biologisnya…
Sebuah ponsel berdering, dan seorang gadis menangis
Wajahnya bumi, tangannya menyangga jantung hatinya
Pohon kamboja berkabar tentang kematian kekasih
Seorang pria menulis sms, lalu mengirimkan ke
nomer hp milik seorang wanita berusia empatpuluh lima
Mendung berarak hitam seperti geram Sang Oidipus
menyeru-nyeru nama ibu yang menyusuinya
sekaligus meneteki dahaga libidonya…
Sebuah ponsel berdering, dan seorang gadis berlari
Wajahnya matahari, tangannya menyeret jantung hatinya
Pohon kamboja berkabar tentang kematian kekasih
Seorang pria menunggu tak sabar, kemudian ponselnya
berdering dalam irama lagu tahun tujuhpuluhan
Mendung menggantung tebal seperti pekik Sang Oidipus
saat menghela-hela tubuh dan jiwa ibu yang menyuapi
sekaligus mendulang lapar kanak-kanaknya…
Sebuah ponsel berdering, dan seorang gadis meratap
Wajahnya malam, tangannya mengubur jantung hatinya… 

Semarang, 26 Desember 2005



SMS dari Pembaringan

Hilang! Aku hilang dalam peradaban ponsel
Lenyap menjadi bayang-bayang pada kaca yang
memanorama lampu-lampu perkotaan. Mungkin 
di sana ada perampokan atau pembunuhan…
Hanya siluet aku dalam cahaya ponsel dalam 
ruang remang. Dan kau masih juga sibuk mengirim
sms, dalam ketelanjangan pembaringan gaya
Hilang! Aku mencari-cari tubuh bugilku
Mungkin lenyap bersama kata-kata tersingkat
yang memenuhi atmosfir sebuah kota. Terdengar
kabar tentang tubuh perempuan yang dipotong-potong…
Tak teraba aku dalam dingin air condition membekukan
dinding kelabu. Dan kau masih juga bertanya
tentang nomer-nomer yang tak dicatat ponsel
Hilang! Aku meliang dalam fatamorgana tubuh
Barangkali melenyap di aorta paling purba
menyuruk di kegelapan jam malam sebuah kota. Terbetik 
berita mayat bayi yang ditemukan di tempat sampah…
Tembus cahaya tubuhku di depan televisi yang dimutekan
remote control. Dan kau masih saja menulis 
kata-kata singkat tentang hidup yang sebenarnya singkat
“I love you,” katanya kemudian dengan nada biasa, 
sambil menenggelamkan tubuh mayaku dalam spring bed, 
dan terus mengutak-atik ponsel. Hilang! Lenyap aku
dalam kehidupan digital, peradaban dunia seluler…
Semarang, 27 Desember 2005



Nomer Cantik
Wajahmu penuh guratan nomer. 
Cantik: tapi bukan kecantikan Venus…
Barangkali mirip Grace Jones,
si hitam atletis. Ya, Hollywood punya artis
Dalam bias bayang rembulan, 
sosoknya menantang bagai leopar
Nomer hapenya, aku tak tahu. Tapi
aku hapal sembilan digit nomermu
Tubuhmu penuh tato nomer-nomer
Sintal: tapi bukan kesintalan Venus…
Mungkin mirip peran May Day
artis Negro. Ya, A View to A Kill punya titel
Dalam bias rembulan pada kaca jendela
hasratnya merangsang bagai gulita rimba
Aku ingin mengirim sms cinta. Tapi
hanya hapal nomer cantikmu
Desahmu penuh igauan nomer-nomer
Polos: tapi bukan kepolosan Venus…
Layak si hitam seteru James Bond
Berambut cepak. Ya, jambul kalkun punya rambut
Dalam wajah rembulan mengintip sepotong
birahinya menjalang bagai singa lapar
Aku ingin menelponnya segera. Tapi 
ponselku selalu kau rebut sebelum aku on
Aku terjebak dalam rimba nomer cintamu,
hingga lupa tentang kehidupan getho-getho
yang mungkin melahirkan artis idolaku
Bahkan alpa, kau pun terlahir
di gang-gang tanpa alamat surat, 
meski terjangkau sinyal rinduku…
“Hallo, apa ada kekerasan perempuan di situ?”



Sedalam SMS yang Dikirimkan

Ia menyanyi, suaranya dalam. Sedalam
sms yang dikirimkan. Sedalam ceruk spring bed
Di atas kursi “bimbo” tangannya menggapai
Dalam irama blues, tambun tubuhnya bagai menari
Seperti tariannya di atas ponsel bermata kucing, 
di atas letihku dalam pengembaraan dunia
yang luka dalam secarik onder jurk
Tentang kemarahan tanah airmu,
musibah bumi dalam perseteruan musik hitam
Ia menyanyi, suaranya penuh pinta. Sepenuh
hati yang terkirim bersama sms. Sepenuh ceruk rasa
Di bawah lampu stage tangannya mengembang
Dalam irama getho, usianya maya dalam cahaya
Seperti gemulai tariannya di atas getar ponsel,
di atas penat jiwaku dalam pendakian purba
yang kompleks dalam riapan avro warna-warni
Tentang kutukan ibu bumimu,
musibah laut dalam debur persekutuan lagu biru
Cahaya lampu memberkaskan kunang-kunang 
ke pangkuannya, dalam irama blues tak usai-usai…
Semarang, 28 Desember 2005



Ponsel yang Tenggelam dalam Ceruk Spring Bed
Aku tenggelam dalam ceruk spring bed, bersama ponsel
yang bergetar memanggil-manggil nama entah siapa
Mungkin saudaranya yang tenggelam dalam musibah…
Aku pun tak mengenal namamu, sebab aku hanya 
membeli salahsatu tubuhmu yang bercabang
Burung condor menunggu di dahan mengering, 
di atas bumi yang memoranda mayat-mayat berlumpur
Aneh, getar ponsel seperti ketukan sms hatimu!
Aku tenggelam dalam persetubuhan cinta, dalam tubuhmu
yang tenggelam bersama ponsel yang kau mainkan
Tak mungkin kau mengingat musibah saudaramu…
Sebab aku sangat mengenalmu, tubuhmu yang memang 
tak kau jual tapi hatimu aku tahu bercabang-cabang    
Burung kondor menunggu di cabang sebuah hati
yang terbang dari tubuh di atas poranda lumpur mayatmu
Ah, masih juga hatimu kau bagi-bagi melalui sms!
Aku tenggelam  dalam pilihan ganda, dalam ketenggelaman
ponsel on atau off menjelang tahun baru 2006
Sambil mengingat setahun musibah saudara-saudara…
Apakah aku musti membeli tubuh bercabang, atau
bercinta dengan hatimu yang bercabang-cabang
Lihatlah, aku bagai nekrofagus di cabang ranjang
tak bisa meninggalkan bangkai tubuh atau hati
Apakah aku harus sendiri di malam tahun baru?
Ataukah aku musti membawa hatimu untuk membeli tubuh
sambil mengenang musibah saudara-saudaraku…
28 Desember 2005

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

WRITES HERE (◑‿◐)