body, a, a:hover {cursor: url(http://1.bp.blogspot.com/-EqdSuJ1lQr4/Tsl-wr7TSfI/AAAAAAAAAj4/hBoRlPJy8qM/s300/contoh-cursor.png), progress;
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
RSS

LIKE THIS (◑‿◐)

Say Hello to Riska (◑‿◐)

CERPEN "BU MARTINAH TIADA"


                                                            

Bu Martinah Tiada
Desa Manasuka digemparkan dengan kabar meninggalnya Bu Martinah. Semua orang terkejut dan banyak dari mereka bertanya-tanya penyebab meninggalnya Bu Martinah. Kejadian ini dirasa mendadak sehingga menimbulkan banyak tanya. Tidak satupun orang mengira usia Bu Martinah sependek itu. Dia pergi begitu cepat. Ajal memang tidak dapat diperkirakan. Sudah menjadi ketetapan dan rahasia Tuhan. Manusia hanya bisa bertawakal dan istiqomah terhadap takdir yang telah ditetapkan.
“Eh, Bu Martinah?”
“Iya, Bu Martinah meninggal.”
“Ah, kamu pasti salah dengar!”
“Sungguh, saya tidak berbohong! Bu Martinah meninggal tadi pagi, tetapi belum ada pemberitahuan lewat speaker mushola.”
“Iya, saya belum mendengarnya, oleh karena itu saya tidak percaya. Biasanya setiap kali ada orang yang meninggal di desa ini, ada pemberitahuan dari Pak Karno lewat speaker mushola.”
“Memang, tumben sekali belum ada pemberitahuan. Aneh sekali Pak Karno kenapa tidak mengabar-ngabari lewat speaker mushola. Apa karena…?”
“Husss, apa yang sedang kamu pikirkan? Jangan berpikir macam-macam, nanti kamu kena tulahnya! Yasudah lebih baik kamu menemani saya untuk membuktikan kejadian ini. Saya sangat penasaran!”
“Ya, itu lebih baik. Kamu memang perlu membuktikannya. Ucapanku benar. Ayok kita jalan, saya antar kamu ke sana.”
Pagi ini Desa Manasuka tidak lagi disambut oleh ocehan-ocehan panas dari mulut Bu Martinah. Bu Martinah telah tiada, hanya namanya yang masih hidup dalam sanubari lingkungan desa. Tidak ada lagi cela, tidak ada lagi tawa-tawa penindasan, tidak ada lagi sindiran-sindiran sinis yang selalu dikompori Bu Martinah. Anehnya, Ibu-ibu yang datang ke toko kelontong milik Bu Martinah ikut mendengarkan dan menanggapi setiap ocehan panas yang dilontarkan Bu Martinah. Seperti dongeng sebelum tidur, Ibu-ibu betah berada di toko kelontong itu setiap pagi. Tidak sekadar untuk membeli sayuran, mereka senang berpartisipasi menanggapi ocehan panas Bu Martinah. Bu Martinah seperti sebuah magnet, memiliki daya tarik yang kuat, dan mampu menarik para pelanggannya untuk turut serta dalam lingkaran panas.
Pagi nampaknya tidak hanya sebagai ladang penghasilan rezeki bagi Bu Martinah, tetapi juga sebagai ladang mencari pengikut setia. Pelanggan di warungnya dijadikan sebagai pengikut yang setia mendengar dan menanggapi setiap ocehan Bu Martinah. Setiap ocehan yang keluar menimbulkan fitnah dan rasa sakit hati. Banyak orang menjadi korban keusilan Bu Martinah. Korban ocehan panas Bu Martinah biasanya hanya bisa diam tanpa tindakan apapun. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan. Mereka orang yang tertindas, bawahan yang hanya bisa setia tanpa imbalan kasih sayang dan perlindungan. Luka dan sakit hati sudah menjadi hal yang sering diberikan Bu Martinah kepada orang-orang yang dibencinya.
Orang–orang berbondong-bondong menuju rumah Bu Martinah. Langkah mereka disertai rasa penasaran yang amat besar. Mulut mereka bersaut-sautan saling bertanya dan beberapa dari mereka masih belum percaya atas meninggalnya Bu Martinah.
“Lalu, siapa yang akan mengurus warung itu?”
“Iya, baisanya warung itu ramai. Kalau tidak ada penerusnya pasti desa kita akan sepi.”
“Kamu benar. Bu Martinah selalu menggembor-gemborkan kejelekan dan kekurangan orang lain. Kasihan sekali orang-orang yang menjadi bahan pembicaraannya.”
“Meskipun kebiasaan Bu Martinah buruk, tetapi ingatlah kebaikannya. Ingatkan? Bu Martinah selalu memberikan pekerjaan kepada kita sebagai kuli panggul. Kita dapat uang karena dia. Kita dapat memberi makan anak-istri kita karena upah yang diberikannya.”
Bu Martinah adalah salah satu orang terpandang di Desa Manasuka. Kekayaan yang dimilikinya dan relasi yang banyak jumlahnya membuat para tetangga ingin mendekati serta mengetahui rahasia sukses hidupnya. Selintas usaha Bu Martinah hanya membuka warung kelontong dan berdagang palawija, namun usaha lain di belakangnya ternyata banyak. Sawah luas miliknya dapat menghasilkan berton-ton hasil panen yang kemudian dijual. Warung kelontong yang dikelola dengan beberapa pelayan warung nampaknya menghasilkan banyak rupiah untuk menghidupi biaya keluarga Bu Martinah serta memberi upah para karyawan. Banyak lapangan pekerjaan yang disediakan Bu Martinah untuk para tetangga. Biasanya Bu Martinah mengundang tetangganya, baik laki-laki ataupun perempuan untuk bekerja di rumahnya. Beberapa dari mereka ada yang bekerja sebagai pelayan toko, memasak, tukang bersih-bersih rumah, tukang kebun, penjaga rumah, kuli panggul, kuli di sawah untuk mencangkul, membajak sawah, menanam padi atau kacang atau kedelai, memupuk tanaman di sawah, memanen hasil tanam, dan masih banyak lagi. Keberadaan Bu Martinah di Desa Manasuka memiliki pengaruh yang besar.
Meninggalnya Bu Martinah selain menggemparkan desa, juga menimbulkan kekhawatiran di antara para pekerja. Orang-orang yang biasanya bekerja pada Bu Martinah merasa cemas kalau-kalau mereka harus kehilangan pekerjaan. Mereka perlu mendapatkan uang untuk memberi makan keluarga yang terbilang banyak. Mendapatkan pekerjaan di masa-masa sekarang ini sangat sulit. Pekerjaan yang ada sedikit jumlahnya. Orang-orang harus pandai bersaing untuk mendapatkan pekerjaan. Tidak hanya keahlian dan pengalaman yang harus dimiliki, namun ijazah kelulusan juga sangat berpengaruh. Apalagi kalau calon pekerja harus memenuhi dan melengkapi persyaratan berkas riwayat pendidikan. Hal ini menjadi momok besar, beban bagi masyarakat desa yang hanya lulusan sekolah rendah, tidak memiliki pengalaman luas dan keahlian hebat seperti orang-orang di kota. Suami Bu Martinah dan anak-anaknya tidak tahu-menahu jika harus meneruskan usaha yang telah dilakoni Bu Martinah. Istri dan Ibu yang independen, sangat mandiri, dan tidak dapat dikompromi, itulah sosok Bu Martinah.
Dulu, Bu Martinah adalah orang yang dianggap paling berbahaya. Warga desa takut jika dijadikan sasaran ocehan panas Bu Martinah. Ketakutan mereka bukan karena kesalahan yang telah diperbuat, tetapi karena keusilan Bu Martinah yang tidak dapat diatasi. Tidak ada satupun orang berhasil menghentikan keusilan Bu Martinah, termasuk suami dan anak-anaknya. Mereka hanya bisa diam dan membiarkan Sang Ibu berulah. Bagi mereka, Bu Martinah dapat mengendalikan dirinya. Seburuk apapun perbuatan yang dilakukan, pasti sudah dipikirkan resiko dan dampak yang timbul. Bu Martinah tetap menjadi seorang Ibu yang mampu melindungi keluarganya, menyayangi suami, dan menempatkan posisi sebagai seorang Ibu dan Istri.
Suatu hari, Bu Martinah fasih memberitakan kemiskinan Pak Winanto. Bu Martinah menceritakan kejelekan dan aib Pak Winanto. Tanpa ada rasa bersalah, Bu Martinah mempengaruhi orang-orang yang sedang berbelanja di warung miliknya. Para pendengar setia itu menikmati setiap wakui yang berjalan. Seperti dongeng yang alurnya perlahan menarik para pendengar untuk hanyut di dalamnya. Begitulah teknik Bu Martinah dalam bercerita. Sebagian pendengar Bu Martinah adalah Ibu-ibu. Pagi hari sebagai ajang gosip Ibu-ibu di warung kelontong itu. Bu Martinah sebagai ketua gosip selalu memberikan gosip teraktual dan tidak henti-hentinya mencari bahan untuk dongengnya. Pak Winanto tak lain adalah mantan karyawan Bu Martinah. Dulu Pak Winanto diundang untuk bekerja sebagai kuli panggul. Pak Winanto didatangi langsung oleh Bu Martinah untuk bekerja di rumahnya. Setelah beberapa tahun bekerja pada Bu Martinah, Pak Winanto dipecat tanpa alasan yang jelas. Bu Martinah memang sering berbuat sesuka hatinya. Sekali pun dia tidak menyukai orang lain, maka dia akan berusaha untuk menyingkirkan orang tersebut, dengan cara apapun, seburuk apapun, dia tak peduli, baginya menyingkirkan orang yang tidak disukai berarti menyingkirkan kerikil di depan langkah kakinya. Orang-orang terkejut dengan pemberitaan yang disebarkan Bu Martinah. Pak Winanto dikenal sebagai orang yang baik, ulet, dan gigih dalam bekerja. Entah mengapa pemberitaan semacam itu muncul dan menyerang orang sebaik Pak Winanto.
“Saya masih tidak percaya pemberitaan Pak Winanto itu!”
“Tidak ada yang bisa kita jadikan patokan dalam hal ini. Kita tidak bisa mempercayai siapapun. Bu Martinah atau Pak Winanto? ”
“Iya, kamu benar. Aku pun bingung.”
Kasus lain pernah terjadi pada Bu Susi. Dia tetangkap basah membawa makanan dari rumah Bu Martinah sepulang kerja. Bu Martinah yang tidak bisa membiarkan hidup seseorang tenang. Dia sengaja menggembor-gemborkan isu bahwa Bu Susi seorang pencuri. Bu Martinah tidak peduli kebenaran yang sesungguhnya. Berkali-kali suami Bu Martinah, Pak Ahmad mengatakan bahwa dirinya yang membawakan makanan untuk dibawa pulang Bu Susi. Masakan yang disediakan bagi keluarga Bu Martinah sering lebih dan tidak ada yang makan. Pikir Pak Ahmad, daripada mubazir dan meninggalkan dosa, maka Pak Ahmad berinisiatif untuk membagikan rezeki keluarganya. Toh tidak ada yang makan karena masakan yang dibuat sengaja dibuat banyak. Bu Martinah tak peduli dengan penjelasan Pak Ahmad. Dia tetap keras kepala dan terus-menerus menyalahkan Bu Susi. Mungkin karena memang Bu Martinah sudah tidak suka dengan Bu Susi, jadi dia berusaha keras menyingkirkan keberadaan Bu Susi. Padahal dulu Bu Susi bekerja karena dipanggil langsung oleh Bu Martinah untuk membantu di rumah. Namun, begitulah Bu Martinah, sifatnya sangat egois dan keras kepala. Bu Susi tidak dapat berbuat apa-apa. Baginya, sudah pernah mendapat pekerjaan dari Bu Martinah pun, dia sangat berterimakasih. Yaa, namanya juga orang desa. Tahu balas budi dan tidak mau berhutang budi. Seburuk apapun perlakuan orang lain terhadap dirinya, tetapi sebisa mungkin perlakuan buruk itu dibalas dengan perlakuan yang lebih baik, bahkan perlakuan terbaik yang dapat dilakukan.
Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh. Itu berarti mayat Bu Martinah segera dikebumikan. Tinggal menunggu kedatangan keluarga jauh yang masih dalam perjalanan. Keluarga Bu Martinah memang sangat banyak. Apalagi yang tinggal di daerah jauh dari Desa Manasuka. Sudah menjadi tradisi Desa Manasuka, apabila ada warga yang meninggal dunia, maka saudara-saudara baik yang jauh maupun dekat disempatkan untuk datang sebagai penghormatan terakhir bagi sang jenazah. Hari terakhir yang patut dihadiri karena tidak ada waktu lagi untuk saling bertemu walaupun hanya bisa menatap dan ditatap. Sang jenazah sudah siap dikebumikan karena sudah dimandikan dengan air suci lagi menyucikan. Jenazah sudah pula diwudhu’I dan dibalut kain kafan tujuh lapis. Beberapa bulatan kapas telah disumpalkan ke bagian-bagian lubang Bu Martinah. Bu Martinah pun sudah dipocong. Tidak lupa para takziah dan kaum kematian telah melakukan salat jenazah bagi jenazah Bu Martinah. Semua sudah siap.
Liang lahat berukuran 1x2 meter sudah dipersiapkan para penggali kubur. Bunga mawar dan kamboja beserta kelangkapannya sudah disiapkan Ibu-ibu. Sepasang papan telah siap sebagai pertanda kubur Bu Martinah. Tulisan Martinah binti Martino dengan identitas kelahiran dan kematian terpampang jelas pada papan itu. Semuanya menjadi saksi bisu kematian Bu Martinah.
Sanak saudara ternyata sudah berkumpul. Semua sudah lengkap. Tinggal menunggu konfirmasi dari Pak Ahmad untuk mengantarkan jenazah Bu Martinah ke tempat keabadian. Isak tangis mulai terdengar jelas dari anak-anak dan keluarga yang ditinggalkan. Duka menyelimuti semua takziah. Pakaian berduka, hitam pekat mewarnai hari pemakaman Bu Martinah. Hanya keikhlasan dan ketabahan yang mampu menguatkan Pak Ahmad dan keluarga besarnya. Ajal berasal dari Tuhan sebagai ketetapan yang tidak mungkin dapat dilanggar manusia. Tuhan sang pencipta. Dialah pemilik segalanya. Semua ciptaan-Nya tunduk dan taat kepada-Nya.
Pak ahmad memberikan pidato pelepasan istrinya. Dia menyampaikan ucapan terimakasih kepada para taziah yang telah datang dan telah membantu selama kehidupan Bu Martinah. Selain itu, Pak Ahmad memintakan maaf dan ketulusan para taziah atas kesalahan ataupun kebiasaan buruk istrinya. Pak Ahmad semakin terlihat sebagai sosok suami yang sangat menyayangi istrinya walaupun telah tiada, dia juga sosok ayah yang baik untuk anak-anaknya. Setelah beberapa saat, terlihat anak-anak Bu Martinah baris di depan membawa foto wajah Bu Martinah yang cantik. Sanak saudara mengikuti di belakangnya.
Waktu menunjukkan pukul sebelas. Jenazah Bu Martinah segera digotong menuju pemakaman. Rombongan pengantar jenazah mulai beriringan mengantar sang jenazah menuju peristirahatan terakhir. Selama perjalanan, tidak ada kendala yang menghadang. Walaupun Bu Martinah terkenal sebagai sosok yang suka memfitnah orang lain, suka ngerumpi, dan keras kepala, tetapi kebaikan hatinya kepada orang lain agaknya menjadi penghapus segala kesusahan bagi Bu Martinah. Bu Martinah telah tiada, namun sosoknya masih melekat erat di hati keluarga dan warga desa.
***

2014
Riska Ade Oktaviana,
Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
UNNES

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

WRITES HERE (◑‿◐)