body, a, a:hover {cursor: url(http://1.bp.blogspot.com/-EqdSuJ1lQr4/Tsl-wr7TSfI/AAAAAAAAAj4/hBoRlPJy8qM/s300/contoh-cursor.png), progress;
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
RSS

LIKE THIS (◑‿◐)

Say Hello to Riska (◑‿◐)

CERPEN "Senja, Malam, dan Malaikat"



Senja, Malam, dan Malaikat

“Aku bertekad untuk melupakanmu!”
                        ***
Senja telah siap menjemput malam. Senja mulai menghias langit biru menjadi kemerah-merahan, layaknya gadis kecil yang malu-malu berkenalan dengan barunya di sekolah. Senja telah datang. Angin bertiup mesra terasa dingin menggelitik, menerpa kulit tubuh yang haus akan kehangatan. Angin dan senja nampaknya telah sepakat mengubah sore ini menjadi indah.
Masih seperti sore-sore yang lalu, aku masih setia bersama senja menanti malam di sekitar danau yang dikelilingi pepohonan hijau nan sejuk. Aku duduk di sebuah bangku panjang sambil memandang gelombang air yang berjalan ke arahku dan menikmati teduhnya sore serta menuliskan sajak-sajak indah kekagumanku terhadap alam, kepada Tuhan Sang Pencipta. Sajakku sederhana, sajakku tak terkekang pada mata-mata dan pikiran kolot tentang alam. Sajakku sebagai jembatan untukku mengungkapkan segala rasa. Sajakku adalah muntahan-muntahan segar segala isi rasa dan sajakku mampu berbicara.
Sesaat setelah senja, malam memaksakan diri menyelimuti semesta. Matahari pun tak mampu menolak, dia mengalah, dan dia pergi menjauh dari siang. Langit menjadi remang-remang dan sesaat kemudian berubah menjadi gelap. Rotasi sudah menjadi ketetapan, bahwa bumi berputar menyebabkan kondisi terang dan gelap pada sebagian wilayah yang dikenai benda-benda alam. Pancaran matahari memiliki kelemahan, bahwa dia tidak mampu menerangi seluruh semesta dalam satu waktu. Oleh karena itu, tidak ada yang berhak merasa iri karena gelap ataupun terang. Kali ini malam tampil sebagai pemenang. Malam hadir memberikan kegelapan yang sunyi. Hembusan angin menambah kesenduan, menerpa kulit, membuat bulu kudukku berdiri. Dalam benakku tertahan dingin yang semakin menjadi. Tubuh seolah menolak kondisi semacam ini. Aku butuh tempat yang hangat. Aku harus pulang.
“Eh, Bray! Lihatlah gadis cantik itu, sepertinya kita perlu menemaninya! Ha ha ha… “
“Ya, kamu benar! Ayo kita hampiri dia!”
Langkah kaki semakin kupercepat sesaat setelah aku mendengar bisikan-bisikan jahat itu. Meskipun hanya perasaanku yang sensitif untuk mengira bahwa suara dua orang lelaki asing yang kutemui ditujukan padaku, aku tetap harus berhati-hati. Aku tak boleh lengah. Siapa tahu mereka akan berbuat jahat padaku. Aku sangat benci gangguan di sekeliling hidupku. Aku hanya ingin hidup nyaman dan aman. Aku punya hak dan kebebasan. Seharusnya tidak boleh satupun orang mengganggu orang lain yang akan membuat suatu ketidaknyamanan. Aku berusaha menenangkan diri dan bersikap biasa saja. Kucoba untuk mengabaikan pembicaraan dua orang lelaki asing itu. Kualihkan perhatian pada apa saja yang dapat kugunakan sebagai penarik simpati. Jalanku semakin tak terkendali. Aku merasa ketakutanku terpancar dalam gerak jalanku yang sangat cepat dan terburu-buru. Pasti ini membuat orang lain curiga.
“Jangan lari, nona!” ucap salah seorang lelaki asing itu.
Langkah mereka semakin cepat seiring langkahku yang tak karuan. Aku benar-benar ketakutan. Aku takut hal buruk terjadi padaku. Aku lebih baik menghindari bencana daripada harus menghadapi dan menderita karena bencana buruk itu. Keringat mulai menetes dan napas tersengal-sengal. Aku selalu panik menghadapi ketidaknyamanan seperti ini. Kulirik ke belakang dan kulihat dua lelaki asing itu masih bersemangat mengejar. Aku heran, apa yang sebenarnya mereka cari. Mereka seolah ingin menangkap dan memangsaku, atau akan menjadikanku bulan-bulanan ketidakpantasan mereka. Pikiranku semakin kacau.
Dari arah kejauhan di depanku, aku mendengar suara mesin motor perlahan-lahan menuju arahku. Aku sangat senang suara itu semakin lama semakin nyata. Aku terus saja berlari dan berharap ada seseorang yang menolong dan menyelamatkanku dari bahaya ini. Dewi Fortuna nampaknya mendengar keluh kesahku. Benar saja, seorang pengendara motor melintas ke arahku. Aku melihat dia seorang laki-laki. Lalu kulambaikan tangan seraya meminta pertolongan.
“Tolong………. Tolong………. Tolong…………”
Lelaki itu melihat lambaian tanganku. Dia bergegas mempercepat laju motor menuju ke arahku. Mungkin dia melihat ada dua orang lelaki yang mengejarku, jadi segera pengendara motor itu turun dari motor dan menghampiriku.
“Apa yang terjadi?” ucap laki-laki itu,
“Lihatlah dua orang lelaki yang berlari di belakangku, sepertinya mereka akan menangkapku, tolonglah aku!”
“Apa yang sebenarnya terjadi? aku tidak tahu apapun persoalanmu itu?”
“Bawalah aku pergi jauh dari dua orang itu! Tolonglah aku! Aku sangat takut!”
“Hah?...
baiklah ayo cepat naik ke motor!”
Akhirnya aku terselamatkan. Pengendara motor itu membawaku pergi. Betapa lega rasanya, aku telah jauh dari dua orang asing yang mengerikan. Aku kembali bersyukur. Dewi Fortuna masih saja setia mendengar dan memahami deritaku. Dialah malaikat, pembawa keselamatan dan cinta.
***
Malam yang indah. Kali pertama aku bertemu dengan Sani. Di mataku, Sani adalah malaikat. Dialah malaikat tanpa sayap yang dikirim Dewi Fortuna untuk hadir dan tampil sebagai hero dalam hidupku. Sani adalah orang yang baik. Dia sangat ramah dan baik hati. Dia rela menolong orang yang tidak dikenalnya. Aku bukan siapa-siapa baginya, tetapi itu bukan menjadi persoalan baginya. Dia pun sangat tampan. Wajahnya mampu membius ketakutanku menjadi perasaan penuh bunga. Dia memberikanku rasa aman dan nyaman. Pertemuan pertama itu ternyata menumbuhkan benih-benih bunga asmara. Aku percaya bahwa itu bukan karena kebetulan, itu adalah sebuah takdir. Takdir telah menggariskan untukku bertemu dengan Sani.
“Siapa namamu? Apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Sani memecahkan keheningan.
“Aku tak tahu mengapa mereka mengejarku. Aku baru saja pulang dari danau. Aku pulang seperti biasa melewati jalanan itu, tetapi hari ini aku harus bertemu dengan dua lelaki asing yang tiba-tiba menggangguku. Aku sangat takut karena mereka terus berbisik dan mengikutiku.”
“Sudahlah, sekarang kamu tak perlu takut lagi. mungkin aku bisa menolongmu. Biar kuantar pulang. Di mana kamu tinggal?”
“Terimakasih banyak. Aku tak tahu lagi kalau saja kamu tidak datang dan tidak ada lagi yang dapat menolongku. Aku sangat bingung. Terimakasih banyak.”
“Iya, kamu tak perlu khawatir. Jadi ke mana aku akan mengantarkanmu pulang?”
“Aku tinggal di Mekarsari, kita lewat Jalan Kalimasada, lalu ke Gang Abimanyu. Tolong antarkan aku pulang!”
Malam masih panjang. Dinginnya udara masih berhembus dan tak henti. Bintang-bintang di langit masih enggan menampakkan dirinya. Namun, rembulan sudah memancarkan cahaya yang elok nan cantik. Malam mini bulan purnama. Rembulan akan setia menemani malam hingga esok. Kami akan segera sampai rumahku. Dalam benakku masih tersimpan rasa was-was, meskipun aku telah bersama seorang malaikat tampan.
“Kita sudah sampai. Inikah tempat tinggalmu?” Tanya Sani.
“Iya, benar. Aku tinggal di sini.”
“Oh ya, kita belum berkenalan sebelumnya. Perkenalkan aku Sani.”
“Iya maaf, aku Tasya. Terimakasih banyak kamu sudah menolongku dan mau mengantarkanku pulang.”
“Ah, tak perlu banyak terimakasih Sya, tadi kamu juga sudah berkali-kali bilang terimakasih, kan? Nanti habis lhoh, repot” Sani kembali memecah keheningan.
“Kamu bisa saja San, aku hanya tidak tahu harus bagaimana lagi untuk membalas kebaikanmu. Kalau tidak keberatan, kamu mampir dulu ke rumahku, ayo masuk ke dalam.”
“Tidak perlu bersusah payah memikirkan itu Sya. Aku berterimakasih untuk tawaranmu itu. Tapi maaf aku tak bisa mampir sekarang.”
“Mampirlah dulu San, aku akan menjamumu dengan sesuatu yang istimewa.”
“Iya, sekali lagi terimakasih Sya, kamu tidak perlu repot-repot begitu, mungkin lain waktu kita bertemu lagi. Sekarang aku harus pergi ke rumah temanku dulu.”
“Oh, baiklah San. Tidak apa-apa tidak mampir sekarang. Semoga lain kali kita bisa bertemu lagi dan aku bisa membalas kebaikanmu.”
“Iya Sya, sekali lagi maaf yaa. Aku pamit pergi sekarang.”
“Yasudah San, hati-hati di jalan. Terimakasih.”
“Kembali kasih Sya. Daaaah……….” Sani segera menghidupkan motor dan dia pergi.
Malam telah memberiku sebuah kenangan indah. Malam telah mempertemukanku dengan Sani. Malaikat tampan yang baik hati. Malam telah memberiku kesempatan untuk mengenalnya.
***
Aku kembali datang pada senja. Aku akan menghabiskan sisa sore bersama senja di danau. Sampai malam datang, aku takkan beranjak pergi. Sembari itu, aku melakukan ritualku menuliskan sajak-sajak indah. Sajakku takkan pernah habis. Sajakku selalu saja muncul dan memintaku menuangkannya dalam bait-bait penuh makna. Sore ini sajakku mengajak untuk menelusuri Malaikat yang bertemu dengaku malam lalu. Terlukiskan sosok malaikat sempurna pelipur lama dalam bait-bait sajakku. Tanganku tak hentinya menuliskan kata-kata indah hasil dari pikiran dan perasaan yang menyatu. Dialah malaikatku, Sani. Kami baru saja bertemu kemarin malam. Namun, benih-benih cinta mulai tumbuh di hatiku.
Sani datang dengan cinta. Kedatangannya menimbulkan cinta yang tak pernah kuduga. Tak sekadar rasa kagum yang kurasakan, lebih dari itu aku sangat menginginkannya. Betapa bahagianya aku, sore ini aku dipertemukan dengannya lagi. Hati ini berbunga-bunga. Aku tak sengaja bertemu Sani dalam perjalanan pulang. Aku melihat dia sedang mengotak-atik motornya di pinggir jalan. Lalu aku pun menghampirinya.
“Hai, kita bertemu lagi,” ucapku kepadanya.
Sani segera menoleh ke arahku. “Hai, kamu Tasya kan?”
“Iya San, masa kamu lupa? Kemarin kita baru saja bertemu.”
“Iya, aku ingat kok Sya. Bagaimana keadaanmu sekarang?”
“Aku baik San, gimana kabarmu? Emm, apa yang terjadi?”
“Aku tidak baik, lihat saja motorku.”
“Apa yang terjadi dengan motormu, San?”
“Aku tidak tahu, tiba-tiba motorku mogok di tengah perjalanan. Aku sedang mencoba untuk mengeceknya.”
“Sepertinya kamu pandai persoalan mesin ya, San?”
“Ah, tidak juga Sya, aku hanya tahu sedikit.”
Malam masih seindah kemarin, di mana aku dan Sani kembali dipertemukan. Aku sangat senang. Perasaan aneh selalu muncul setiap kali bertemu dengan Sani. Aku merasa gugup dan tegang. Dewi Fortuna sepertinya sengaja memberikanku kebahagiaan tak terkira seperti ini. Aku kembali bertanya-tanya, pertemuanku dengan Sani hanya sebuah kebetulan atau memang sengaja direncanakan sebagai sebuah takdir? Ah, sepertinya aku tak perlu banyak bertanya-tanya. Aku hanya harus menjalani semua ini. Aku hanya berharap suatu saat bunga-bunga yang telah tumbuh di hatiku akan bermekaran dengan indah, seindah harapanku.
***
Sore berikutnya aku lebih bersemangat menemui senja menanti malam. Kali ini aku tidak hanya menanti malam, tetapi menanti Sani datang. Dia sudah berjanji menemuiku di danau. Kali ini aku tidak akan membuang kesempatan emas untuk mengetahui lebih dalam tentang Sani. Aku ingin lebih dekat dengannya.
Sani datang. Dia datang membawa setangkai mawar merah. Hal ini semacam kebetulan karena aku sangat suka mawar merah. Dia menyapaku dengan hangat dan memberikan bunga itu dengan penuh ketulusan. Aku menerima setangkai mawar merah dari Sani.
Duduk berdua di danau bersama senja yang masih cantik menanti malam. Kami saling bercerita kisah perjalanan hidup yang panjang. Sani bersikap terbuka padaku. Dia semakin terasa ramah di mataku. Dia adalah sosok yang dapat memecahkan keheningan suasana. Dia membuatku semakin kagum. Tak henti-hentinya kami tertawa lepas. Sore itu seolah milik kami berdua.
***
Matahari mengubah gelapnya langit malam. Sinarnya tersebar ke penjuru alam memberikan kehidupan bagi semesta. Kicauan burung menambah eloknya pagi. Suaranya masih sama, saling bersautan seperti kokok ayam di pagi hari. Pagi ini sangat cerah, memberikan semangat kokoh kepada para pencari berkah. Aku masih terbawa hingar-bingar kebahagiaan tadi malam. Kebersamaan itu tak bisa hilang dari ingatanku. Ini akan menjadi kenangan yang sulit untuk hilang. Kadar kebahagiaanku terasa di puncak rasa bahagia. Semakin lama semakin membuatku takut. Perasaan takut tiba-tiba muncul. Aku takut aku kehilangan Sani. Aku takut perasaanku yang besar kepadanya tak bisa kekal di dalam hatinya. Aku takut ini akan menjadi peluru kehancuranku. Aku sangat takut. Pikiranku kacau. Aku tidak fokus. Aku cemas dan aku khawatir. Aku seperti hilang kendali.
***
Dua bulan terasa sangat lama bagiku. Aku masih ingat jelas kali pertama bertemu dengan Sani. Suara motornya, bau parfumnya, dan aku sudah banyak tahu tentang dia. Sepertinya aku harus percaya bahwa setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Ketakutanku selama ini terjawab juga. Dua bulan masa-masa indah bersama dengan Sani. Tak sekadar menghabiskan waktu bersama, kami sudah seperti pasangan yang tak terpisahkan. Dua bulan nampaknya cukup bagi Dewi Fortuna memberikan waktu bahagiaku. Dewi Fortuna sedang mengujiku. Setelah dia berikan kebahagiaan luar biasa, lalu dia berikan cobaan yang terasa amat berat. Kami sama-sama tidak punya pilihan. Aku dan Sani mungkin tidak berjodoh. Malaikatku itu dijodohkan dengan gadis lain. Aku tak menyalahkan siapa-siapa. Aku hanya merasa kesal mengapa aku harus kehilangan orang yang telah membuatku takluk. Ibu Sani sedang sekarat dan dia mengharapkan anak gadis sahabatnya menjadi pendamping hidup Sani kelak. Demi kesembuhan Ibunya, Sani merelakan perasaannya. Aku harus mamahami semua ini. Aku tidak boleh egois hanya karena ingin memiliki Sani sepenuhnya.
Akhirnya aku memutuskan untuk pindah dari tempat tinggalku. Aku pergi jauh ke kota. Aku ingin mencari suasana baru di sana. Aku yakin aku dapat melupakan semua kenangan indah bersama Sani. Aku selalu berharap keputusan yang telah kuambil tidak sia-sia. Setidaknya aku dapat membalas kebaikan Sani, dulu saat menolongku. Aku pergi.
***

2014
Riska Ade Oktaviana,
Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
UNNES




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

WRITES HERE (◑‿◐)