MATAHARI
DI SEBUAH JALAN KECIL
(Karya
Arifin C. Noor)
Sebentar lagi berkas-berkas di
langit akan buyar dan matahari akan memulai memancarkan sinarnya yang putih,
terang dan panas. Jalan itupun akan mulai hidup, bernafas dan debu-debu akan
segera berterbangan mengotori udara.
Jalan itu bukan jalan kelas
satu. Jalan itu jalan kecil yang hanya dilalui kendaraan-kendaraan dalam jumlah
kecil. Tetapi sebuah pabrik es yang tidak kecil berdiri di pinggirnya dan
pabrik itu memiliki gedung yang sangat tua. Di depan gedung itulah para pekerja
pabrik mengerumuni SIMBOK yang berjualan pecel di halaman.
Seorang laki-laki yang sejak
malam terbaring, tidur di ambang pintu yang terpalang tak dipakai itu, bangun
dan menguap setelah seorang yang bertubuh pendek membangunkannya. Laki-laki itu adalah PENJAGA MALAM.
1. PENJAGA MALAM : Uuuuuh, gara-gara pencuri, aku jadi kesiangan.
2. SI PENDEK :
Tadi malam ada pencuri?
3. PENJAGA MALAM : Di sana, di ujung jalan itu! (menunjuk)
4. SI PENDEK : Tertangkap?
5. PENJAGA MALAM : Dia licik seperti belut. (menggeliat lalu pergi)
6. SI PENDEK :
(duduk lalu membaca koran)
Seorang pemuda (anak
laki-laki) membawa baki di atas kepalanya lewat. Ia menjajakan kue donat dan
onde-onde. Suaranya nyaring sekali. Tak ada orang mengacuhkannya. Begitu ia
lenyap seorang pemuda lewat pula yang berjalan dengan perlahan, berbaju lurik
kumal, sepatu kain yang sudah rusak dan buruk, wajahnya pucat. Sebentar ia
memperhatikan orang-orang yang tengah makan lalu ia pergi dan iapun tak
diperhatikan orang.
Gemuruh mesin yang tak pernah
berhenti itu, yang abadi itu, makin lama makin mengendur daya bunyinya sebab
lalu lintas di jalan itu mulai bergerak dan orang-orang semakin banyak di
halaman pabrik itu. SIMBOKpun
makin sibuk melayani mereka. Lihatlah!
7. SI TUA :
(menerima pecel) Sedikit sekali.
8. SIMBOK :
(tak menghiraukan dan terus melayani yang lain)
9. SI PECI :
Ya, sedikit sekali (menyuapi mulutnya)
10. SI TUA :
Tempe lima rupiah sekarang.
11. SI KACAMATA : Beras mahal (membuang cekodongnya) kemarin istriku mengeluh.
12. SI PECI :
Semua perempuan ya ngeluh.
13. SI KURUS :
Semua orang pengeluh.
14. SI KACAMATA : Kemarin sore istriku berbelanja ke warung nyonya pungut.
Pulang-pulang ia menghempaskan nafasnya yang kesal……. Harga beras naik lagi,
katanya.
15. SI PECI :
Apa yang tidak naik?
16. SI TUA : Semua naik.
17. SI KURUS :
Gaji kita tidak naik.
18. SI KACAMATA : Anak saya yang tertua tidak naik kelas.
19. SI TUA :
Uang seperti tidak ada harganya sekarang.
20. SI KURUS :
Tidak seperti…. Ah memang tak ada harganya.
21. SI TUA : (mengangguk-angguk)
22. SI PECI : Ya.
23. SI KACAMATA : Ya.
24. SI PENDEK :
Menurut saya (menurunkan koran yang sejak tadi menutupi wajahnya. Sebentar ia
berfikir sementara kawannya bersiap mendengar cakapnya). Menurut saya, sangat
tidak baik kalau kita tak henti-hentinya mengeluh sementara masalah yang lebih
penting pada waktu ini sedang gawat menantang kita. Dalam seruan serikat kerja
kitapun telah dinyatakan demi menghadapi revolusi dan soal-soal lainnya yang
menyangkut negara kita harus turut aktif dan bersiap siaga untuk segala apa
saja dan yang terpenting tentu saja perhatian kita.
25. SI TUA : (menggaruk-garuk)
26. SI PENDEK :
Ya, baru saja saya baca dari koran….nich, korannya…. Bahwa kita harus waspada
terhadap anasir-anasir penjajah, kolonialisme. Kita harus hati-hati dengan
mulut yang manis dan licin itu. (tiba-tiba batuk dan keselek)…..tempe mahal
tidak enak rasanya… (meneruskan yang semula) beras yang mahal hanya soal yang
tidak lama.
27. SI PECI : Ya.
28. SI KACAMATA : Ya.
29. SI PENDEK : Ya.
30. SI TUA : Dulu (batuk-batuk), dulu saya hanya membutuhkan uang sepeser
untuk sebungkus nasi.
31. SI PECI : Dulu?
32. SI TUA :
Ketika jaman normal.
33. SI KURUS : Jaman Belanda.
34. SI TUA :
Ya, jaman Belanda. Untuk sehelai kemeja saya hanya membutuhkan uang sehelai
rupiah.
35. SI KURUS :
Tapi untuk apa kita melamun, untuk apa kita mengungkap-ungkap yang dulu?
36. SI PENDEK :
(makin berselera) Ya, untuk apa? Untuk apa kita melamun? Untuk apa kita
mengkhayal? Apakah dulu bangsa kita ada yang mengendarai mobil? Sepedapun hanya
satu dua orang saja yang memilikinya. Kalaupun dulu ada itulah mereka para
bangsawan, para priyayi dan para amtenar yang hanya mementingkan perut sendiri
saja. Sekarang lihatlah
ke jalan raya.
37. SI PENDEK :
…… Lihatlah Kemdal Permai, stanplat. Pemuda-pemuda kita berkeliaran dengan
sepeda motor. Kau punya sepeda? Ya, kita bisa mendengarkan lagu-lagu dangdut
dari radio. Ya?
38. SI KACAMATA : Ya.
39. SI PENDEK : Ya, tidak?
40. SI KURUS : Ya.
41. SI PENDEK : Ya, tidak?
42. SI TUA : (mengangguk-angguk)
43. SI PENDEK :
Sebab itu kita tidak perlu mengeluh, apalagi melamun dan mengkhayal, sekarang
yang penting kita bekerja, bekerja yang keras.
44. SI KACAMATA : Saya juga berpikir begitu.
45. SI PENDEK :
Kita bekerja dan bekerja keras untuk anak-anak kita kelak.
46. SI KACAMATA : Saya ingin anak saya memiiki yamaha bebek.
47. SI PENDEK :
Asal giat bekerja kita bebas berharap apa saja.
48. SI KURUS :
Tapi kalau masih ada korupsi? Anak kita akan tetap hanya kebagian debu-debunya
saja dari motor yang lewat di jalan raya.
49. SI PECI : Ya.
50. SI KACAMATA : Ya.
51. SI TUA :
Ya, sekarang kejahatan merajalela.
52. SI KURUS :
Semua orang bagai diajar mencuri dan menipu.
53. SI KACAMATA : semua orang.
54. SI KURUS :
Uang serikat kerja kitapun pernah ada yang menggerogoti (melirik kepada si
pendek)
55. SI PECI :
Ya, setahun yang lalu. (melirik
si pendek)
56. SI KACAMATA : Ya, dan sampai sekarang belum tertangkap tuyulnya. (melirik pad si pendek)
57. SI TUA : (mengangguk-angguk)
PEMUDA
muncul lagi, mula-mula ragu lalu ia turut bergerombol dan makan pecel.
58. SI PECI : Ya, setahun yang lalu (melirik si
pendek) Sekarang kita sukar mempercayai orang.
59. SI KURUS :
Bahkan kita takkan percaya lagi pada kucing. Kucing sekarang takut pad tikus
dan tikus sekarang besar-besar, malah ada yang lebih besar daripada kucing, dan
adapula tikus yang panjangnya satu setengah meter dan empat puluh kilogram
beratnya. Tapi yang lebih pahit kalau kucing jadi tikus alias kucing sendiri
sama kurang ajarnya dengan tikus.
60. SI PECI :
Ya, sekarang kucing malas-malas dan kurang ajar.
61. SI KACAMATA : Dunia penuh tikus sekarang.
62. SI KURUS : Dan tikus-tikus jaman sekarang
berani berkeliaran di depan mata pada siang hari bolong.
63. SI TUA : Omong-omong perkara tikus,
(batuk-batuk) sekarang ada juga orang yang makan tikus.
64. SI KACAMATA : Bukan tikus, cindel. Orang Tionghoa di tempat saya biasa menelan
cindel hidup-hidup dengan kecap, mungkin untuk obat.
65. SI TUA : Bukan cindel, tikus-tikus, Wirog.
Petani-petani sudah sangat jengkel karena diganggu sawahnya, sehingga mereka
dengan geram dan jengkel lalu memakan tikus-tikus sebagai lauk, daripada
mubazir. Tapi ada juga
yang memakan tikus itu sebab……….lapar.
66. SI PECI : Ya, sekarang sudah hampir umum di
kampung-kampung, bahkan ada juga anjuran dari pemerintah setempat.
67. SI KURUS :
(pada si tua) Enak?
68. SI TUA :Ha?
69. SI KURUS :
Sedap?
70. SI TUA :
Saya tidak turut makan (tersenyum).
Semua tertawa. Lonceng bekerja
berdentang. Mereka masing-masing menghitung dan menyerahkan uang pada SIMBOK
kemudian pergi bekerja, lewat jalan samping. Yang terakhir adalah si pendek.
71. SI PENDEK : Berapa Mbok?
72. SIMBOK : Apa?
73. SI PENDEK :
Nasi pecel dua, tempe satu, tahu satu, rempeyek satu.
74. SIMBOK : Tujuh puluh lima.
75. SI PENDEK : Bon. (pergi)
Pemuda menghabiskan
makannya dengan lahap sekali, setelah membuang cekodongnya ia minta air yang
biasa disediakan oleh penjual pecel itu. Ia berdiri, merogoh saku celana. Ia cemas, saku baju dirogohnya. Ia makin cemas, Simbok memperhatikan
dengan biasa.
76. SIMBOK : Ada yang hilang?
77. PEMUDA : Barangkali tidak.
78. SIMBOK : Apa?
79. PEMUDA : Dompet.
80. SIMBOK :
Dompet? Ada uang di dalamnya?
81. PEMUDA :
Juga surat keterangan penduduk. Tapi (mengingat-ingat) barangkali saya lupa dan
tidak hilang. Tadi malam saya mengenakan baju hijau dengan celana lurik hijau.
Yang mungkin dompet itu dalam saku baju hijau….. Berapa Mbok?
82. SIMBOK : Nasi dua.
83. PEMUDA :
Tempe dua, tahu tiga.
84. SIMBOK : Delapan puluh.
85. PEMUDA :
(seraya hendak pergi) Sebentar saya pulang mengambil uang. Dompet saya dalam
saku baju hijau barangkali.
86. SIMBOK : Nanti dulu.
87. PEMUDA : Tak akan lebih dari sepuluh menit.
Segera saya kembali.
88. SIMBOK : Tapi sebentar lagi saya mau pergi dari sini.
89. PEMUDA : Tapi dompetku ketinggalan di
rumah. Sebentar rumahku tidak jauh dari sini.
90. SIMBOK :
Ya, tapi sebentar lagi saya akan pergi dari sini.
91. PEMUDA :
Sebentar (akan pergi)
92. SIMBOK :
(berdiri dan berseru) Hei, nanti dulu. Bayarlah baru kau boleh pergi.
93. PEMUDA :
Jangan berteriak. Tentu saja saya akan membayar. Tapi saya mesti mengambil uang
dulu di rumah. Mbok
tidak percaya?
94. SIMBOK :
(diam)
95. PEMUDA :
Tunggulah sebentar, saya orang kampung sini juga.
TERDENGAR
ADA SUARA: Ada apa Mbok?
96. SI KURUS: Ada apa Mbok? (di jendela)
97. SIMBOK : Dia belum bayar.
98. PEMUDA: Tunggulah lima menit (pergi).
99. SI KURUS: Hai, dik! Tunggu!
100.PEMUDA: Saya akan mengambil uang. Saya belum membayar makanan saya, sebab itu saya akan pulang mengambil
uang saya. Dompet saya
ketinggalan.
101.SI KURUS:Ya, tapi jangan main
minggat-minggatan.
102.PEMUDA: Saya tidak berniat lari atau
minggat, lagipula saya sudah bilang sama si Mbok.
103.SI KURUS: Simbok mengijinkan?
104.PEMUDA: Saya Cuma sebentar.
105.SI KURUS: Simbok memperbolehkan engkau
pergi?
106.PEMUDA: (diam)
107.SI KURUS: Simbok keberatan engkau
meninggalkan tempat ini sebelum engkau membayar makananmu.
108.PEMUDA: Bagaimana dapat saya bayar? Dompet saya ketinggalan.
109.SI KURUS: Ya, tapi jangan main
minggat-minggatan.
110.PEMUDA: Saya tidak berniat minggat atau
lari.
111.SI KURUS: (lenyap dari jendela, muncul
dari pintu samping) Dimana rumahmu?
112.PEMUDA: Dekat.
113.SI KURUS: Dekat di mana?
114.PEMUDA: Di kampung ini.
115.SI KURUS: Ha? (pada Simbok) Mbok, kenal
pada anak itu?
116.SIMBOK: Seumur hidup baru pagi ini saya
menjumpainya. Tapi peristiwa semacam ini kerap kualami. Dulu saya percaya ada
orang yang betul-betul ketinggalan uangnya tetapi orang-orang sebangsa itu
tidak pernah kembali. Seminggu yang lalu saya tertipu dua puluh rupiah.
Tampangnya gagah dan meyakinkan sekali, waktu itu ia bilang uangnya tertinggal
di rumah. Tapi sampai hari ini pecel yang dimakannya belum dibayar. Benar dua
puluh itu tidak banyak, tetapi dua puluh kali sepuluh adalah tidak sedikit. Sekarang saya sudah kapok dan cukup
pengalaman.
117.SI KURUS: Baru sekarang ini kau jajan pada
simbok, bukan?
118.PEMUDA: Ya.
119.SI KURUS: Lalu kenapa kau berani-berani
jajan padahal kamu tahu tak beruang.
120.PEMUDA: Saya beruang.
121.SI KURUS: Bayarlah sekarang.
122.PEMUDA: Uang saya ketinggalan.
123.SI KURUS: Kenapa kau berani jajan.
124.PEMUDA: Saya tidak tahu kalau uang saya
ketinggalan di saku baju hijau. Dan sekarang saya akan pergi mengambil uang itu.
MUNCUL DI JENDELA, SI
PECI
125.SI PECI: Ada apa dia?
126.SI KURUS: Makan tidak bayar.
127.SI PECI: Siapa?
128.SI KURUS: Pemuda ini.
129.SI PECI: Dia? (lenyap dari jendela muncul
dari pintu)
130.SI KURUS: Kau bayarlah sebelum orang-orang
ramai datang ke sini.
131.SI PECI: Ya, bayarlah. (pada simbok)
Berapa dia habis?
132.SI KURUS: Berapa Mbok?
133.SIMBOK: Delapan puluh.
DUA ORANG ANAK MASUK, MEREKA
MENONTON
134.SI KURUS: Kenapa jadi diam?
135.SI PECI: Kenapa?
136.PEMUDA: Saya tidak berniat minggat.
137.SI KURUS: Masih muda sudah belajar tidak
jujur. Masih muda sudah belajar makan tanpa jerih payah.
138.SI PECI: Kenapa tidak membayar?
139.PEMUDA: Saya mau membayar, uang saya
ketinggalan.
140.SI PECI: Ketinggalan di mana?
141.SI KURUS: Di bank?
142.PEMUDA: Di rumah.
143.SI KURUS: Di mana rumahmu?
144.PEMUDA: Di sini.
145.SI KURUS: Di sini di mana?
146.PEMUDA: Di kampung ini.
147.SI KURUS: Kau warga kampung ini?
148.PEMUDA: Saya orang baru.
149.SI KURUS: Kau tahu nama kampung ini?
150.PEMUDA: Pegulen.
151.SI KURUS: Pegulen? Di RT mana kau tinggal?
152.PEMUDA: Di RT lima.
153.SI KURUS: RT lima betul?
154.PEMUDA: Kalau tidak keliru.
155.SI KURUS: Kalau tidak keliru?
156. PEMUDA: Mungkin saya lupa, saya orang
baru.
157.SI KURUS: Baik. Siapa kepala RT lima?
158.PEMUDA: Saya orang baru di kampung ini.
159.SI KURUS: Tentu saja kau harus mengatakan
orang baru di kampung ini, sebab kalau kau mengatakan orang lama di kampung
sini tentu kau harus menjawab siapa nama kepala RT lima. Baik, dari mana asalmu?
160.PEMUDA: Muntilan.
161.SI KURUS: Dekat. Nah, kau katakan di mana
tempat tinggalmu?
162. PEMUDA: RT lima Pegulen.
163.SI KURUS: RT lima dimana?
164.PEMUDA: Di RT lima.
165.SI KURUS: Ya, di rumah siapa?
166.PEMUDA: Dekat bengkel Slamet.
167.SI KURUS: Bengkel Slamet, bengkel mobil
itu?
168.PEMUDA: Bengkel sepeda.
169.SI KURUS: O.., Ya betul, bengkel sepeda. Di mana bengkelnya?
170.PEMUDA: Di dekatnya.
171.SI KURUS: Di atasnya?
172.PEMUDA: Di sebelahnya.
173.SI KURUS: Ya, di sebelah atas.
174.PEMUDA: Sebelah kiri.
175.SI KURUS: O…, rumah siapa itu?
176.PEMUDA: Rumah tukang sepatu.
177.SI KURUS: Hapal sekali. Tukang sepatu
siapa namanya?
178.PEMUDA: E….. Mas Narko, Sunarko.
179.SI KURUS: Salah, ternyata kau bohong. Nah,
sejak sekarang saya akan memanggilmu pembohong. Rumah itu adalah rumah saya. Di
muka rumah itupun berdiri rumah Simbok ini. Kau bohong.
180.PEMUDA: Saya tidak bohong. Bukankah
diantara rumah saudara dan bengkel ada sebuah rumah petak yang agak bagus.
181.SI KURUS: Kau cerdas sekali, tapi tolol. Rumah itupun rumah pak Prawiro,
bukan rumah mas Sunarko.
182.PEMUDA: Barangkali namanya Sunarko
Prawiro.
183.SI KURUS: Indah sekali namanya. Kau yakin
benar nama itu?
184.PEMUDA: Saya tidak begitu kenal namanya.
185.SI KURUS: Tentu saja pak Prawiro itu
sangat tidak kenal padamu.
186.PEMUDA: Tapi saya kenal orangnya dan
saya mondok pada istrinya.
187.SI KURUS: Setiap orang yang punya sepatu
yang rusak dan buruk seperti sepatumu pasti kenal padanya. Dia tukang sepatu.
188.PEMUDA: Tapi saya betul-betul kenal.
189.SI KURUS: Betul?
190.PEMUDA: Betul.
191.SI KURUS: Betul?
192.PEMUDA: (diam)
193.SI KURUS: Puh! Pembohong. Tampangmu saja
sudah mirip bajingan. Pintar kau ngoceh ya? Saya adalah orang yang paling benci
pada ketidakjujuran, saya muak. Saya menyesal sekali melihat penipu semuda kau.
Tapi saya terlanjur muak. Saya benci, kau tahu? Gaji saya sedikit, tapi saya
tak mau menipu atau mencuri. Ya, tentu saja kau semakin kurus, sebab benar kata
Joyoboyo, yang pintar keblinger yang jujur mujur. Sekarang baiklah, bayar atau
tidak? Ya memang sedikit uang delapan puluh rupiah, tapi bagi saya kejahatan
tetap kejahatan, dan saya benci serta menyesal, yang melakukan perbuatan hina
itu adalah manusia bukan anjing. Dan lebih menyesal lagi kalau yang melakukan
kerja nista itu adalah bakal dan calon orang, yaitu kamu, PEMUDA. Nah, bayar atau tidak? Terus terang.
194.PEMUDA: Saya mau bayar.
195.SI KURUS: Bayarlah!
196.PEMUDA: Uang saya ketinggalan.
197.SI KURUS: Ketinggalan di mana? Di Bank? Di
kantong pak Prawiro atau mau mencopet dahulu? Mau belajar jadi garong… biar…
cair kepalamu? Sayang kumismu jarang, kalau panjang dan lebat saya sudah
gemetar.
198.PEMUDA: Betul, uang saya ketinggalan.
199.SI KURUS: Bohong!
200.PEMUDA: Sungguh.
201.SI KURUS: bohong. Kau tadi sudah bohong
sebab itupun kau pasti pembohong.
202.PEMUDA: Percayalah mas, kalau saya
berbohong………
203.SI KURUS: (memotong) Bohong. Bohong kau……
(geram hendak memukul pemuda itu tetapi tiba-tiba ia mengurungkan niatnya) Saya
percaya kau adalah manusia, bukan binatang. Saya jadi ingat saudara saya
sendiri. Seperti sekarang juga saya merasa parah dalam hati. Waktu itu saya
tidak bisa menahan diri lagi sebenarnya, tetapi saya juga mengerti bahwa
saudara saya itu mesti masuk penjara, sebab ia telah melakukan kejahatan yang
kubenci, tapi saya merasa parah dan tetap benci akan apa yang berbau ketidakjujuran.
Sekarang terus terang
saja mau bayar atau tidak?
DARI PINTU MUNCULLAH SI
KACAMATA, SI TUA, DAN LAIN-LAIN, YANG TAK HADIR HANYA SI PENDEK.
204.SI KACAMATA: Ada apa?
205.SI PECI: Makan tidak bayar.
206.SI TUA: Siapa, pemuda ini?
207.SI PECI: Ya, pemuda ini?
208.SI KACAMATA: Segagah ini?
209.SI PECI: Kalau tidak gagah barangkali
tidak berani ia menipu (pada pemuda) Hei, pemuda. Kau punya uang tidak?
210.PEMUDA: (lama) Punya.
211.SI PECI: Nah, kenapa mesti tidak bayar?
212.PEMUDA: Uang saya ketinggalan.
213.SI PECI: Ketinggalan? Lebih baik tidak
usah berbohong. Kalau bersikeras semua orang akan mengempalkan tangannya dan
darah akan mengotori mukamu nanti. Bayar atau…
214.PEMUDA: Uang saya ketinggalan.
215.SI KURUS: Ketinggalan-ketinggalan.
Sekarang mengakulah. Kau
mau menipu ya?
216.SI PECI: Punya uang tidak?
217.SI KURUS: Mengaku.
218.SI PECI: Kau pasti tidak punya uang.
219.SI KURUS: Dan kau mengaku penipu.
220.SI TUA: Nah, bilang saja terus terang, jangan
kau sakiti badanmu sendiri.
221.SI KACAMATA: Sudah kawan-kawan, saya yakin
dia tidak beruang. Tapi….. Sebab itu lebih baik ia menanggalkan celananya saja.
Kalau memang dia berduit tentu ia nanti boleh mengambil celananya kembali. Jadi celananya jadi jaminan.
Bagaimana?
222.SI PECI: Ya, lebih baik begitu, semua
orang setuju.
223.SI KURUS: Tanggalkan pakaianmu.
224.PEMUDA: Saya malu.
225.SI KURUS: Tidak, kau tidak punya malu. Kau
tidak malu makan tidak bayar. Tanggalkan celanamu! Tanggalkan!
226.SI PECI: Cepat!
227.PEMUDA: Saya tidak pakai celana dalam.
228.SI KURUS: Bohong, kau pembohong sebab itu
kau pembohong.
229.PEMUDA: Sungguh mati. Demi Tuhan, tentang
celana dalam saya tidak berbohong. Kalau saya menanggalkan pantalon saya, saya
telanjang. Oh, sungguh saya tidak tahu bagaimana saya mengatakannya. Dan tentu
saja sayapun tak dapat membuktikannya. Percayalah kalau saya membuka celana,
akan telanjanglah saya.
230.SI KURUS: Sejak tadi kau sedang
menelanjangi dirimu sendiri dan kau diam-diam telah memberi api pada setiap
orang yang telah melihatmu.
TIBA-TIBA SEORANG PEREMPUAN
JURAGAN BATIK BERSAMA PEMBANTU YANG MEMAYUNGINYA MUNCUL DAN IA TERTARIK UNTUK
MELIHAT KEJADIAN ITU.
231.PEREMPUAN: (dengan yang nyata-nyata
dibuat-buat ia bicara pada si kacamata) Ada apa to dik?
232.SI KACAMATA: Makan tidak bayar.
233.PEREMPUAN: Siapa?
234.SI KACAMATA: Si pemuda ini.
235.PEREMPUAN: O, lalu?
236.SI KACAMATA: Mula-mula dia mau menipu
pura-pura akan mengambil uang yang katanya ketinggalan tetapi agaknya dia
berbohong. Sebab itu kami sepakat kalau ia menanggalkan celananya untuk
pengganti uang atau untuk jaminan kalau memang dia punya uang.
237.PEREMPUAN: Berapa tho, habisnya?
238.SI KACAMATA: Berapa dik?
239.SI KURUS: Delapan puluh rupiah.
240.PEREMPUAN: Ah, sedikit. Baiklah, jangan
ribut-ribut. Kasihan. (mengambil uang dari tasnya) Ini Mbok seratus rupiah.
241.SI KURUS: Nanti dulu, Mbakyu. Mbakyu
bilang kasihan padanya, sehingga mendorong rasa kasihan Mbakyu untuk
membayarnya. Tidak, tidak, saya tidak tersinggung. Sayapun memang kalau delapan
puluh itu sedikit dan saya juga dapat atau siapa saja masih mampu memberi, tapi
bukan itu soalnya. Kalau Mbakyu kasihan padanya sama seperti Mbakyu membantu
melahirkan seorang bandit di tanah kewalian ini. Saya juga maklum, apa yang
Mbakyu lakukan itu mulia, tapi hal yang mulia juga minta tempat dan saat yang
tepat. Dan sekarang saat tidak minta yang sejenis itu. Apa yang kami lakukan
sekarang adalah juga kemuliaan, meskipun menampakkan kekasaran dan penghinaan,
tetapi ia juga bersama kemuliaan yang diridhoi Tuhan. Dan jangan lupa saya dan
teman-teman di sini atau siapa saja juga mampu kalau berniat memberi anak
pemuda ini uang seratus rupiah, tetapi bukan itu soalnya.
242.SI PECI: Ya, itu soalnya.
243.SI KACAMATA: Ya.
244.SI TUA: (mengangguk-angguk)
TANPA MEMBERI REAKSI APA-APA
PEREMPUAN DAN PEMBANTUNYA PERGI MELANJUTKAN PERJALANAN.
245.SI PECI: Sombong benar perempuan itu.
246.SI KURUS: Mau buka celana tidak?
247.PEMUDA: (diam)
248.SI KURUS: Baiklah, tadi saya sudah
berkata dan saya percaya bahwa kau bukan anjing, karenanya kau pasti memiliki
rasa malu. Baik, sekarang bajumu saja kau tanggalkan.
249.SI PECI: Ya, baju saja.
250.SI KACAMATA: Ya, baju saja.
251.SI PECI: Ayo cepat.
252.SI TUA: Nah, sebentar lagi kalau mata
orang-orang di sini copot dan melotot, maka gemparlah di muka pabrik ini, sebab
ada seorang pemuda yang dipukuli ramai-ramai oleh orang banyak.
253.PEMUDA: Saya melepaskan baju saya, Pak!
254.SI KURUS: Lepaskan!
255.PEMUDA: Saya tidak berkaos.
256.SI PECI: Tak perduli. Tanggalkan.
257.SI KURUS: Malu, malu! Priyayi kamu? Ha?
Tak berkaos malu, tapi berani menipu. Laknat kau ini. Penipu bagi dirimu sendiri! Lepaskan!
258.PEMUDA: Saya akan melepaskan tapi bukan
baju melainkan sepatu.
259.SI PECI: Sepatu kain yang jebol itu? Kau
telah membuat dagelan yang lebih menjengkelkan lagi tau?
260.SI KACAMATA: Ya, satu rupiah tak akan ada
orang yang sudi membeli sepatu abunawas itu.
TIBA-TIBA TERDENGAR GEMURUH
SUARA TRUK. MENDEKAT DAN BERHENTI TIDAK JAUH DARI TEMPAT ITU.
261.SI KACAMATA: Nah, pak sopir datang.
Biarlah dia yang membereskannya biar tahu rasa kalau nanti lengannya sudah
dikilir oleh pak sopir.
262.SI SOPIR: Ada apa hah?
263.SI PECI: Makan tak bayar.
264.SI SOPIR: Si kecil ini?
265.SI KACAMATA: Ya, si kecil ini.
266.SI SOPIR: (pada pemuda) Oo, sudah kenyang,
hah? Terlalu pagi. Matahari masih terlalu rendah untuk dikhianati. (pada si peci) Lalu, akan kita
apakan dia?
267.SI PECI: Ia harus menanggalkan bajunya.
268.SI SOPIR: Begitu semestinya. Lebih baik
makan baju daripada makan tidak bayar, bukan? Lalu?
269.SI PECI: Ia menolak melepaskan bajunya.
270.SI SOPIR: Itu tidak adil, ia bisa menolak
untuk telanjang badan tapi ia makan tanpa bayar seenaknya. Itu tidak adil.
(pada pemuda) He, anak muda. Kau pemuda Indonesia, bukan? Tidak, jangan
mengangguk! Kalau kau meng-iya-kan pertanyaan saya kau sama dengan mengatakan
bahwa pemuda Indonesia itu dibolehkan makan di warung tanpa bayar. Tidak, tanah
ini akan menangis mendengar cerita itu. Dengarkan! Dulu waktu sehabis perang
saya juga pernah menjadi pencopet, tanpa perduli lagi. Tapi malang rupanya
tangan ini terlampau kasar sehingga tangan ini lebih suka diborgol, dalam
penjara. Nah, di tempat yang sepi itu aku mengakui bahwa aku telah menyakiti
orang, menyakiti hati dari tanah yang kita cintai ini dan pasti Tuhan akan
menutup pintuNya bagi orang semacam aku. Sebab itulah setelah aku keluar dari
rumah yang baik dan mulia itu, kemudian aku menjadi lebih maklum bahwa kita tak
boleh berbuat jahat. Tidak, jangan. Tapi dengarlah lagi! Kau tahu, kalau kau
berjalan ke arah barat dari arah sini kau akan sampai pada sebuah perempatan,
di mana berdiri beberapa batang pohon beringin. Kau tentu sudah tahu di
belakang pohon beringin itu berderet asrama. Dan kau tahu asrama apa itu? (lama)
Asrama Polisi! Nah, kau suka kuantarkan ke asrama itu?
271.PEMUDA: (diam)
272.SI SOPIR: Suka! Tentu tidak, ya? Nah, copot bajumu!
273.PEMUDA: Saya malu.
274.SI SOPIR: Jangan malu-malu (keras) copot!
PEMUDA
MENANGGALKAN BAJUNYA PADA SI PECI.
275.SI PECI: (menyerahkan baju kepada Simbok)
Simpanlah baju ini Mbok. Nanti
kalau ia kembali membawa uang berikan baju ini.
276.SI SOPIR: Beres sudah! Ayolah, kita
bekerja sekarang. Habis
waktunya terbuang.
ORANG-ORANG PERGI, MASUK KE
DALAM PABRIK. KECUALI SI SOPIR YANG PERGI KE ARAH DARI MANA IA MUNCUL TADI.
TAPI BELUM LAMA DUA LANGKAH ORANG-ORANG BERGERAK TIBA-TIBA….
277.SI KURUS: Saya kira kalau baju itu
disimpan Simbok sekarang niscaya kurang aman. Lebih baik baju itu dititipkan
pada Abduh yang kerjanya dekat jendela.
278.SI PECI: Baiklah, Mbok, saya membawa
bajunya ke dalam. Kalau ada apa-apa panggillah saya. (menerima baju)
BERES SUDAH……ORANG-ORANG SUDAH
MULAI BEKERJA, DI HALAMAN ADA SIMBOK DAN SI PEMUDA. GEMURUH MESIN KEMBALI
NYATA. LEWAT SEORANG PEREMPUAN MENJAJAKAN JENANG GENDUL. SANGAT NYARING SUARANYA.
279.PEMUDA: Mbok, mula-mula maksud saya tidak
akan menipu. Sesudah dua hari ini saya hanya minum air mentah saja. Tidak makan apa-apa.
280.SIMBOK: (diam)
281.PEMUDA: Seminggu yang lalu saya masih di
Klaten, bekerja di sebuah bengkel. Ya aku tidak cukup dapat makan. Sebab itulah
aku mencari pekerjaan di sini.
282.SIMBOK: (diam)
283.PEMUDA: Asalku sendiri dari desa,
desa yang wilayahnya di gunung kidul, Wonogiri. Juga Mbok pun tahu tanah macam
apa yang menguasai tanah macam gunung kidul itu. Tanah tandus. Tanah yang tidak mengkaruniakan buah
bagi mulut yang papa. Sebab itulah aku turun dan mengembara sampai ke pesisir
utara ini. Tapi jarak selatan sampai ke pesisir utara tidak juga memberikan
apa-apa. Karenanya aku terus menyusuri ke Barat, ke tanah wali ini, dengan
harapan tanah serta rumah di kota ini akan sudi memberi makan saya. Tujuh hari
sudah saya disini dan dua hari sudah saya lapar. Dan pada hari ketiga kelaparan
saya membawa saya kemari ke tempat Mbok berjualan pecel. Tidak, saya tidak
bermaksud menipu. Sekali-kali tidak (menengadah) Tuhan, kutuklah aku!
284.SIMBOK: (bangkit dan bergerak menuju
jendela dan berseru) Abduh! Abduh!
285.SI PECI: (di jendela) Ada apa Mbok?
286.SIMBOK: Mana baju tadi?
287.SI PECI: Dia membawa uang?
288.SIMBOK: Tidak, baju itu akan saya bawa ke
pasar, saya jual.
289.SI PECI: Nanti direbut oleh anak itu lagi.
290.SIMBOK: Tidak, kemarikan saja.
291.SI PECI: Baiklah (lenyap dari jendela,
kemudian Simbok menerima baju tadi lewat jendela)
292.PEMUDA: Ya, Mbok sebelum saya memesan nasi
pecel tadi saya sudah berjanji pada diri sendiri, tidak, saya harus membayar!
Entah kapan saja tapi harus bayar. Demi Allah, hukumlah saya. Ya, Mbok kalaupun
saya pergi tak kembali kesini atau kapan saja saya pasti kemari untuk membayar
makan saya. Ibu saya mengajarkan kejujuran dan hukum bahwa, bekerja artinya
tenaga, bahwa bekerja artinya makan. Hal itu kusadari sejak aku mulai tahu
bahwa tanah tempat saya berpijak sangat keras, begitu angkuh dan tandus.
293.SIMBOK: (memberikan baju tanpa berkata
apa-apa)
294.PEMUDA: Tidak Mbok, bukan maksud saya
minta dikasihani, saya hanya ingin menceritakan dan saya hanya ingin mengatakan
bahwa hati saya bersih. Terhadap baju itu sudah rela dan paham bahwa barang itu
patut saya berikan pada Simbok sebagai ganti makanan yang telah saya makan.
295.SIMBOK: Terimalah.
296.PEMUDA: tidak.
297.SIMBOK: Terimalah.
298.PEMUDA: tidak.
299.SIMBOK: Terimalah.
300.PEMUDA: Mbok percayalah.
301.SIMBOK: Saya percaya sebab itu kau harus
mau menerima baju kembali.
302.PEMUDA: Tapi baju ini bukan milikku lagi.
Ibu bilang aku tidak boleh memiliki barang kepunyaan orang lain. Tidak… Ada air mata di mata Simbok.
303.SIMBOK: Tidak.
304.PEMUDA: Saya tidak tahan melihat orang
menangis, meskipun ibuku senantiasa menangis setiap malam. Dan sekarang hanya
tinggal tangisnya belaka sebab itu telah lewat. Simbok kasihan pada saya lalu menangis? Tidak!
305.SIMBOK: Tidak, saya ingat anak saya.
306.PEMUDA: Simbok punya anak?
307.SIMBOK: Ya, satu-satunya, jantan yang
cantik.
308.PEMUDA: Dimana sekarang?
309.SIMBOK: Di sini.
310.PEMUDA: Di sini?
311.SIMBOK: Di Kendal. Di PENJARA.
312.PEMUDA: Ha?
313.SIMBOK: Ya, sayapun tak pernah menyangka,
anak saya itu akan menjadi pencuri sepeda. Tidak, saya cukup memberi ia makan.
Tapi barangkali disebabkan pergaulannya atau barangkali saya salah mengajar
atau mendidik dia atau…..atau…..atau…. Oh, saya tidak tahu. Tapi aku tahu dan
percaya matamu lain dengan matanya. Saya melihat matamu bening, sebab itu saya
yakin kau tidak seperti anak saya. Kau seperti kemenakan saya. Kau pasti…Kau
pasti anak baik. (tiba-tiba) Akh, cepat terimalah baju ini dan segeralah kau
pergi dari tempat ini sebelum penjaga malam sampai kemari.
314.PEMUDA: (menerima baju itu) baiklah.
Terima kasih dan selamat tinggal Mbok.
BEGITU IA LENYAP, MUNCUL
PENJAGA MALAM YANG TAMPAK BARU SELESAI MANDI. IA TAMPAK KEDINGINAN.
315.PENJAGA MALAM: Minta pecel yang pedes
(kedinginan). Katanya tadi ada pemuda yang mau menipu?
316.SIMBOK: (tak begitu acuh) Ya.
317.PEMJAGA MALAM: Bagaimana tampangnya?
318.SIMBOK: Kurus dan cantik.
319.PENJAGA MALAM: Pakai baju lurik.
320.SIMBOK: Ya, kalau tidak salah.
321.PENJAGA MALAM: Bajigur! Bajigur! Kurang
ajar dia. Tapi dia tak jadi menipu di sini bukan? Kemana ia? Jangkrik anak itu! Belut!
322.SIMBOK: Ada apa? Ada apa?
323.PENJAGA MALAM: Pasti dia. Kemarin malam
dia juga menipu di sebuah warung di pasar Kauman.
324.SIMBOK: Haa….? (menelan ludah) Ya, Allah.
LANGIT DI ATAS MULAI KOTOR
OLEH NAFAS MANUSIA DAN LALU LINTASPUN MULAI LEBIH RAMAI. SEORANG ANAK LAKI-LAKI
MENJAJAKAN ES LILIN LEWAT, TANDA HARI SUDAH SIANG. SUARANYA NYARING, MENYEMBUL DI SELA-SELA
KESIBUKAN.
--- TAMAT ---
0 komentar:
Posting Komentar