Bu
Martinah Tiada
Desa
Manasuka digemparkan dengan kabar meninggalnya Bu Martinah. Semua orang
terkejut dan banyak dari mereka bertanya-tanya penyebab meninggalnya Bu
Martinah. Kejadian ini dirasa mendadak sehingga menimbulkan banyak tanya. Tidak
satupun orang mengira usia Bu Martinah sependek itu. Dia pergi begitu cepat.
Ajal memang tidak dapat diperkirakan. Sudah menjadi ketetapan dan rahasia
Tuhan. Manusia hanya bisa bertawakal dan istiqomah terhadap takdir yang telah
ditetapkan.
“Eh,
Bu Martinah?”
“Iya,
Bu Martinah meninggal.”
“Ah,
kamu pasti salah dengar!”
“Sungguh,
saya tidak berbohong! Bu Martinah meninggal tadi pagi, tetapi belum ada
pemberitahuan lewat speaker mushola.”
“Iya,
saya belum mendengarnya, oleh karena itu saya tidak percaya. Biasanya setiap
kali ada orang yang meninggal di desa ini, ada pemberitahuan dari Pak Karno
lewat speaker mushola.”
“Memang,
tumben sekali belum ada pemberitahuan. Aneh sekali Pak Karno kenapa tidak
mengabar-ngabari lewat speaker mushola.
Apa karena…?”
“Husss,
apa yang sedang kamu pikirkan? Jangan berpikir macam-macam, nanti kamu kena
tulahnya! Yasudah lebih baik kamu menemani saya untuk membuktikan kejadian ini.
Saya sangat penasaran!”
“Ya,
itu lebih baik. Kamu memang perlu membuktikannya. Ucapanku benar. Ayok kita
jalan, saya antar kamu ke sana.”
Pagi
ini Desa Manasuka tidak lagi disambut oleh ocehan-ocehan panas dari mulut Bu
Martinah. Bu Martinah telah tiada, hanya namanya yang masih hidup dalam
sanubari lingkungan desa. Tidak ada lagi cela, tidak ada lagi tawa-tawa
penindasan, tidak ada lagi sindiran-sindiran sinis yang selalu dikompori Bu
Martinah. Anehnya, Ibu-ibu yang datang ke toko kelontong milik Bu Martinah ikut
mendengarkan dan menanggapi setiap ocehan panas yang dilontarkan Bu Martinah.
Seperti dongeng sebelum tidur, Ibu-ibu betah berada di toko kelontong itu
setiap pagi. Tidak sekadar untuk membeli sayuran, mereka senang berpartisipasi
menanggapi ocehan panas Bu Martinah. Bu Martinah seperti sebuah magnet,
memiliki daya tarik yang kuat, dan mampu menarik para pelanggannya untuk turut
serta dalam lingkaran panas.
Pagi
nampaknya tidak hanya sebagai ladang penghasilan rezeki bagi Bu Martinah,
tetapi juga sebagai ladang mencari pengikut setia. Pelanggan di warungnya
dijadikan sebagai pengikut yang setia mendengar dan menanggapi setiap ocehan Bu
Martinah. Setiap ocehan yang keluar menimbulkan fitnah dan rasa sakit hati.
Banyak orang menjadi korban keusilan Bu Martinah. Korban ocehan panas Bu
Martinah biasanya hanya bisa diam tanpa tindakan apapun. Mereka tidak dapat
berbuat apa-apa karena tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan. Mereka orang yang
tertindas, bawahan yang hanya bisa setia tanpa imbalan kasih sayang dan
perlindungan. Luka dan sakit hati sudah menjadi hal yang sering diberikan Bu
Martinah kepada orang-orang yang dibencinya.
Orang–orang
berbondong-bondong menuju rumah Bu Martinah. Langkah mereka disertai rasa
penasaran yang amat besar. Mulut mereka bersaut-sautan saling bertanya dan
beberapa dari mereka masih belum percaya atas meninggalnya Bu Martinah.
“Lalu,
siapa yang akan mengurus warung itu?”
“Iya,
baisanya warung itu ramai. Kalau tidak ada penerusnya pasti desa kita akan
sepi.”
“Kamu
benar. Bu Martinah selalu menggembor-gemborkan kejelekan dan kekurangan orang
lain. Kasihan sekali orang-orang yang menjadi bahan pembicaraannya.”
“Meskipun
kebiasaan Bu Martinah buruk, tetapi ingatlah kebaikannya. Ingatkan? Bu Martinah
selalu memberikan pekerjaan kepada kita sebagai kuli panggul. Kita dapat uang
karena dia. Kita dapat memberi makan anak-istri kita karena upah yang
diberikannya.”
Bu
Martinah adalah salah satu orang terpandang di Desa Manasuka. Kekayaan yang
dimilikinya dan relasi yang banyak jumlahnya membuat para tetangga ingin
mendekati serta mengetahui rahasia sukses hidupnya. Selintas usaha Bu Martinah
hanya membuka warung kelontong dan berdagang palawija, namun usaha lain di
belakangnya ternyata banyak. Sawah luas miliknya dapat menghasilkan berton-ton
hasil panen yang kemudian dijual. Warung kelontong yang dikelola dengan beberapa
pelayan warung nampaknya menghasilkan banyak rupiah untuk menghidupi biaya keluarga
Bu Martinah serta memberi upah para karyawan. Banyak lapangan pekerjaan yang
disediakan Bu Martinah untuk para tetangga. Biasanya Bu Martinah mengundang
tetangganya, baik laki-laki ataupun perempuan untuk bekerja di rumahnya.
Beberapa dari mereka ada yang bekerja sebagai pelayan toko, memasak, tukang
bersih-bersih rumah, tukang kebun, penjaga rumah, kuli panggul, kuli di sawah
untuk mencangkul, membajak sawah, menanam padi atau kacang atau kedelai,
memupuk tanaman di sawah, memanen hasil tanam, dan masih banyak lagi.
Keberadaan Bu Martinah di Desa Manasuka memiliki pengaruh yang besar.
Meninggalnya
Bu Martinah selain menggemparkan desa, juga menimbulkan kekhawatiran di antara
para pekerja. Orang-orang yang biasanya bekerja pada Bu Martinah merasa cemas
kalau-kalau mereka harus kehilangan pekerjaan. Mereka perlu mendapatkan uang
untuk memberi makan keluarga yang terbilang banyak. Mendapatkan pekerjaan di
masa-masa sekarang ini sangat sulit. Pekerjaan yang ada sedikit jumlahnya.
Orang-orang harus pandai bersaing untuk mendapatkan pekerjaan. Tidak hanya
keahlian dan pengalaman yang harus dimiliki, namun ijazah kelulusan juga sangat
berpengaruh. Apalagi kalau calon pekerja harus memenuhi dan melengkapi
persyaratan berkas riwayat pendidikan. Hal ini menjadi momok besar, beban bagi
masyarakat desa yang hanya lulusan sekolah rendah, tidak memiliki pengalaman
luas dan keahlian hebat seperti orang-orang di kota. Suami Bu Martinah dan
anak-anaknya tidak tahu-menahu jika harus meneruskan usaha yang telah dilakoni
Bu Martinah. Istri dan Ibu yang independen, sangat mandiri, dan tidak dapat
dikompromi, itulah sosok Bu Martinah.
Dulu,
Bu Martinah adalah orang yang dianggap paling berbahaya. Warga desa takut jika
dijadikan sasaran ocehan panas Bu Martinah. Ketakutan mereka bukan karena
kesalahan yang telah diperbuat, tetapi karena keusilan Bu Martinah yang tidak
dapat diatasi. Tidak ada satupun orang berhasil menghentikan keusilan Bu
Martinah, termasuk suami dan anak-anaknya. Mereka hanya bisa diam dan
membiarkan Sang Ibu berulah. Bagi mereka, Bu Martinah dapat mengendalikan
dirinya. Seburuk apapun perbuatan yang dilakukan, pasti sudah dipikirkan resiko
dan dampak yang timbul. Bu Martinah tetap menjadi seorang Ibu yang mampu
melindungi keluarganya, menyayangi suami, dan menempatkan posisi sebagai
seorang Ibu dan Istri.
Suatu
hari, Bu Martinah fasih memberitakan kemiskinan Pak Winanto. Bu Martinah
menceritakan kejelekan dan aib Pak Winanto. Tanpa ada rasa bersalah, Bu
Martinah mempengaruhi orang-orang yang sedang berbelanja di warung miliknya.
Para pendengar setia itu menikmati setiap wakui yang berjalan. Seperti dongeng
yang alurnya perlahan menarik para pendengar untuk hanyut di dalamnya.
Begitulah teknik Bu Martinah dalam bercerita. Sebagian pendengar Bu Martinah
adalah Ibu-ibu. Pagi hari sebagai ajang gosip Ibu-ibu di warung kelontong itu.
Bu Martinah sebagai ketua gosip selalu memberikan gosip teraktual dan tidak
henti-hentinya mencari bahan untuk dongengnya. Pak Winanto tak lain adalah
mantan karyawan Bu Martinah. Dulu Pak Winanto diundang untuk bekerja sebagai
kuli panggul. Pak Winanto didatangi langsung oleh Bu Martinah untuk bekerja di
rumahnya. Setelah beberapa tahun bekerja pada Bu Martinah, Pak Winanto dipecat
tanpa alasan yang jelas. Bu Martinah memang sering berbuat sesuka hatinya.
Sekali pun dia tidak menyukai orang lain, maka dia akan berusaha untuk
menyingkirkan orang tersebut, dengan cara apapun, seburuk apapun, dia tak
peduli, baginya menyingkirkan orang yang tidak disukai berarti menyingkirkan
kerikil di depan langkah kakinya. Orang-orang terkejut dengan pemberitaan yang
disebarkan Bu Martinah. Pak Winanto dikenal sebagai orang yang baik, ulet, dan
gigih dalam bekerja. Entah mengapa pemberitaan semacam itu muncul dan menyerang
orang sebaik Pak Winanto.
“Saya
masih tidak percaya pemberitaan Pak Winanto itu!”
“Tidak
ada yang bisa kita jadikan patokan dalam hal ini. Kita tidak bisa mempercayai
siapapun. Bu Martinah atau Pak Winanto? ”
“Iya,
kamu benar. Aku pun bingung.”
Kasus
lain pernah terjadi pada Bu Susi. Dia tetangkap basah membawa makanan dari
rumah Bu Martinah sepulang kerja. Bu Martinah yang tidak bisa membiarkan hidup
seseorang tenang. Dia sengaja menggembor-gemborkan isu bahwa Bu Susi seorang
pencuri. Bu Martinah tidak peduli kebenaran yang sesungguhnya. Berkali-kali
suami Bu Martinah, Pak Ahmad mengatakan bahwa dirinya yang membawakan makanan
untuk dibawa pulang Bu Susi. Masakan yang disediakan bagi keluarga Bu Martinah
sering lebih dan tidak ada yang makan. Pikir Pak Ahmad, daripada mubazir dan
meninggalkan dosa, maka Pak Ahmad berinisiatif untuk membagikan rezeki
keluarganya. Toh tidak ada yang makan
karena masakan yang dibuat sengaja dibuat banyak. Bu Martinah tak peduli dengan
penjelasan Pak Ahmad. Dia tetap keras kepala dan terus-menerus menyalahkan Bu
Susi. Mungkin karena memang Bu Martinah sudah tidak suka dengan Bu Susi, jadi
dia berusaha keras menyingkirkan keberadaan Bu Susi. Padahal dulu Bu Susi
bekerja karena dipanggil langsung oleh Bu Martinah untuk membantu di rumah.
Namun, begitulah Bu Martinah, sifatnya sangat egois dan keras kepala. Bu Susi tidak
dapat berbuat apa-apa. Baginya, sudah pernah mendapat pekerjaan dari Bu
Martinah pun, dia sangat berterimakasih. Yaa, namanya juga orang desa. Tahu
balas budi dan tidak mau berhutang budi. Seburuk apapun perlakuan orang lain
terhadap dirinya, tetapi sebisa mungkin perlakuan buruk itu dibalas dengan
perlakuan yang lebih baik, bahkan perlakuan terbaik yang dapat dilakukan.
Waktu
telah menunjukkan pukul sepuluh. Itu berarti mayat Bu Martinah segera
dikebumikan. Tinggal menunggu kedatangan keluarga jauh yang masih dalam
perjalanan. Keluarga Bu Martinah memang sangat banyak. Apalagi yang tinggal di
daerah jauh dari Desa Manasuka. Sudah menjadi tradisi Desa Manasuka, apabila
ada warga yang meninggal dunia, maka saudara-saudara baik yang jauh maupun
dekat disempatkan untuk datang sebagai penghormatan terakhir bagi sang jenazah.
Hari terakhir yang patut dihadiri karena tidak ada waktu lagi untuk saling
bertemu walaupun hanya bisa menatap dan ditatap. Sang jenazah sudah siap
dikebumikan karena sudah dimandikan dengan air suci lagi menyucikan. Jenazah
sudah pula diwudhu’I dan dibalut kain
kafan tujuh lapis. Beberapa bulatan kapas telah disumpalkan ke bagian-bagian
lubang Bu Martinah. Bu Martinah pun sudah dipocong. Tidak lupa para takziah dan
kaum kematian telah melakukan salat jenazah bagi jenazah Bu Martinah. Semua sudah
siap.
Liang
lahat berukuran 1x2 meter sudah dipersiapkan para penggali kubur. Bunga mawar
dan kamboja beserta kelangkapannya sudah disiapkan Ibu-ibu. Sepasang papan
telah siap sebagai pertanda kubur Bu Martinah. Tulisan Martinah binti Martino
dengan identitas kelahiran dan kematian terpampang jelas pada papan itu.
Semuanya menjadi saksi bisu kematian Bu Martinah.
Sanak
saudara ternyata sudah berkumpul. Semua sudah lengkap. Tinggal menunggu
konfirmasi dari Pak Ahmad untuk mengantarkan jenazah Bu Martinah ke tempat
keabadian. Isak tangis mulai terdengar jelas dari anak-anak dan keluarga yang
ditinggalkan. Duka menyelimuti semua takziah. Pakaian berduka, hitam pekat
mewarnai hari pemakaman Bu Martinah. Hanya keikhlasan dan ketabahan yang mampu
menguatkan Pak Ahmad dan keluarga besarnya. Ajal berasal dari Tuhan sebagai
ketetapan yang tidak mungkin dapat dilanggar manusia. Tuhan sang pencipta.
Dialah pemilik segalanya. Semua ciptaan-Nya tunduk dan taat kepada-Nya.
Pak
ahmad memberikan pidato pelepasan istrinya. Dia menyampaikan ucapan terimakasih
kepada para taziah yang telah datang dan telah membantu selama kehidupan Bu
Martinah. Selain itu, Pak Ahmad memintakan maaf dan ketulusan para taziah atas
kesalahan ataupun kebiasaan buruk istrinya. Pak Ahmad semakin terlihat sebagai
sosok suami yang sangat menyayangi istrinya walaupun telah tiada, dia juga
sosok ayah yang baik untuk anak-anaknya. Setelah beberapa saat, terlihat
anak-anak Bu Martinah baris di depan membawa foto wajah Bu Martinah yang
cantik. Sanak saudara mengikuti di belakangnya.
Waktu
menunjukkan pukul sebelas. Jenazah Bu Martinah segera digotong menuju
pemakaman. Rombongan pengantar jenazah mulai beriringan mengantar sang jenazah
menuju peristirahatan terakhir. Selama perjalanan, tidak ada kendala yang menghadang.
Walaupun Bu Martinah terkenal sebagai sosok yang suka memfitnah orang lain,
suka ngerumpi, dan keras kepala, tetapi kebaikan hatinya kepada orang lain
agaknya menjadi penghapus segala kesusahan bagi Bu Martinah. Bu Martinah telah
tiada, namun sosoknya masih melekat erat di hati keluarga dan warga desa.
***
2014
Riska Ade Oktaviana,
Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia,
UNNES
0 komentar:
Posting Komentar