Senja, Malam, dan Malaikat
“Aku bertekad untuk
melupakanmu!”
***
Senja telah siap
menjemput malam. Senja mulai menghias langit biru menjadi kemerah-merahan,
layaknya gadis kecil yang malu-malu berkenalan dengan barunya di sekolah. Senja
telah datang. Angin bertiup mesra terasa dingin menggelitik, menerpa kulit
tubuh yang haus akan kehangatan. Angin dan senja nampaknya telah sepakat
mengubah sore ini menjadi indah.
Masih
seperti sore-sore yang lalu, aku masih setia bersama senja menanti malam di
sekitar danau yang dikelilingi pepohonan hijau nan sejuk. Aku duduk di sebuah
bangku panjang sambil memandang gelombang air yang berjalan ke arahku dan
menikmati teduhnya sore serta menuliskan sajak-sajak indah kekagumanku terhadap
alam, kepada Tuhan Sang Pencipta. Sajakku sederhana, sajakku tak terkekang pada
mata-mata dan pikiran kolot tentang alam. Sajakku sebagai jembatan untukku
mengungkapkan segala rasa. Sajakku adalah muntahan-muntahan segar segala isi
rasa dan sajakku mampu berbicara.
Sesaat
setelah senja, malam memaksakan diri menyelimuti semesta. Matahari pun tak
mampu menolak, dia mengalah, dan dia pergi menjauh dari siang. Langit menjadi
remang-remang dan sesaat kemudian berubah menjadi gelap. Rotasi sudah menjadi
ketetapan, bahwa bumi berputar menyebabkan kondisi terang dan gelap pada
sebagian wilayah yang dikenai benda-benda alam. Pancaran matahari memiliki
kelemahan, bahwa dia tidak mampu menerangi seluruh semesta dalam satu waktu.
Oleh karena itu, tidak ada yang berhak merasa iri karena gelap ataupun terang.
Kali ini malam tampil sebagai pemenang. Malam hadir memberikan kegelapan yang
sunyi. Hembusan angin menambah kesenduan, menerpa kulit, membuat bulu kudukku
berdiri. Dalam benakku tertahan dingin yang semakin menjadi. Tubuh seolah
menolak kondisi semacam ini. Aku butuh tempat yang hangat. Aku harus pulang.
“Eh,
Bray! Lihatlah gadis cantik itu, sepertinya kita perlu menemaninya! Ha ha ha… “
“Ya,
kamu benar! Ayo kita hampiri dia!”
Langkah
kaki semakin kupercepat sesaat setelah aku mendengar bisikan-bisikan jahat itu.
Meskipun hanya perasaanku yang sensitif untuk mengira bahwa suara dua orang
lelaki asing yang kutemui ditujukan padaku, aku tetap harus berhati-hati. Aku
tak boleh lengah. Siapa tahu mereka akan berbuat jahat padaku. Aku sangat benci
gangguan di sekeliling hidupku. Aku hanya ingin hidup nyaman dan aman. Aku
punya hak dan kebebasan. Seharusnya tidak boleh satupun orang mengganggu orang
lain yang akan membuat suatu ketidaknyamanan. Aku berusaha menenangkan diri dan
bersikap biasa saja. Kucoba untuk mengabaikan pembicaraan dua orang lelaki
asing itu. Kualihkan perhatian pada apa saja yang dapat kugunakan sebagai penarik
simpati. Jalanku semakin tak terkendali. Aku merasa ketakutanku terpancar dalam
gerak jalanku yang sangat cepat dan terburu-buru. Pasti ini membuat orang lain
curiga.
“Jangan
lari, nona!” ucap salah seorang lelaki asing itu.
Langkah
mereka semakin cepat seiring langkahku yang tak karuan. Aku benar-benar
ketakutan. Aku takut hal buruk terjadi padaku. Aku lebih baik menghindari bencana
daripada harus menghadapi dan menderita karena bencana buruk itu. Keringat
mulai menetes dan napas tersengal-sengal. Aku selalu panik menghadapi
ketidaknyamanan seperti ini. Kulirik ke belakang dan kulihat dua lelaki asing
itu masih bersemangat mengejar. Aku heran, apa yang sebenarnya mereka cari.
Mereka seolah ingin menangkap dan memangsaku, atau akan menjadikanku
bulan-bulanan ketidakpantasan mereka. Pikiranku semakin kacau.
Dari
arah kejauhan di depanku, aku mendengar suara mesin motor perlahan-lahan menuju
arahku. Aku sangat senang suara itu semakin lama semakin nyata. Aku terus saja
berlari dan berharap ada seseorang yang menolong dan menyelamatkanku dari
bahaya ini. Dewi Fortuna nampaknya mendengar keluh kesahku. Benar saja, seorang
pengendara motor melintas ke arahku. Aku melihat dia seorang laki-laki. Lalu
kulambaikan tangan seraya meminta pertolongan.
“Tolong……….
Tolong………. Tolong…………”
Lelaki
itu melihat lambaian tanganku. Dia bergegas mempercepat laju motor menuju ke
arahku. Mungkin dia melihat ada dua orang lelaki yang mengejarku, jadi segera
pengendara motor itu turun dari motor dan menghampiriku.
“Apa
yang terjadi?” ucap laki-laki itu,
“Lihatlah
dua orang lelaki yang berlari di belakangku, sepertinya mereka akan
menangkapku, tolonglah aku!”
“Apa
yang sebenarnya terjadi? aku tidak tahu apapun persoalanmu itu?”
“Bawalah
aku pergi jauh dari dua orang itu! Tolonglah aku! Aku sangat takut!”
“Hah?...
baiklah ayo cepat naik ke motor!”
baiklah ayo cepat naik ke motor!”
Akhirnya
aku terselamatkan. Pengendara motor itu membawaku pergi. Betapa lega rasanya,
aku telah jauh dari dua orang asing yang mengerikan. Aku kembali bersyukur.
Dewi Fortuna masih saja setia mendengar dan memahami deritaku. Dialah malaikat,
pembawa keselamatan dan cinta.
***
Malam
yang indah. Kali pertama aku bertemu dengan Sani. Di mataku, Sani adalah
malaikat. Dialah malaikat tanpa sayap yang dikirim Dewi Fortuna untuk hadir dan
tampil sebagai hero dalam hidupku.
Sani adalah orang yang baik. Dia sangat ramah dan baik hati. Dia rela menolong
orang yang tidak dikenalnya. Aku bukan siapa-siapa baginya, tetapi itu bukan
menjadi persoalan baginya. Dia pun sangat tampan. Wajahnya mampu membius
ketakutanku menjadi perasaan penuh bunga. Dia memberikanku rasa aman dan
nyaman. Pertemuan pertama itu ternyata menumbuhkan benih-benih bunga asmara.
Aku percaya bahwa itu bukan karena kebetulan, itu adalah sebuah takdir. Takdir
telah menggariskan untukku bertemu dengan Sani.
“Siapa
namamu? Apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Sani memecahkan keheningan.
“Aku
tak tahu mengapa mereka mengejarku. Aku baru saja pulang dari danau. Aku pulang
seperti biasa melewati jalanan itu, tetapi hari ini aku harus bertemu dengan
dua lelaki asing yang tiba-tiba menggangguku. Aku sangat takut karena mereka
terus berbisik dan mengikutiku.”
“Sudahlah,
sekarang kamu tak perlu takut lagi. mungkin aku bisa menolongmu. Biar kuantar
pulang. Di mana kamu tinggal?”
“Terimakasih
banyak. Aku tak tahu lagi kalau saja kamu tidak datang dan tidak ada lagi yang
dapat menolongku. Aku sangat bingung. Terimakasih banyak.”
“Iya,
kamu tak perlu khawatir. Jadi ke mana aku akan mengantarkanmu pulang?”
“Aku
tinggal di Mekarsari, kita lewat Jalan Kalimasada, lalu ke Gang Abimanyu.
Tolong antarkan aku pulang!”
Malam
masih panjang. Dinginnya udara masih berhembus dan tak henti. Bintang-bintang
di langit masih enggan menampakkan dirinya. Namun, rembulan sudah memancarkan
cahaya yang elok nan cantik. Malam mini bulan purnama. Rembulan akan setia
menemani malam hingga esok. Kami akan segera sampai rumahku. Dalam benakku
masih tersimpan rasa was-was, meskipun aku telah bersama seorang malaikat
tampan.
“Kita
sudah sampai. Inikah tempat tinggalmu?” Tanya Sani.
“Iya,
benar. Aku tinggal di sini.”
“Oh
ya, kita belum berkenalan sebelumnya. Perkenalkan aku Sani.”
“Iya
maaf, aku Tasya. Terimakasih banyak kamu sudah menolongku dan mau
mengantarkanku pulang.”
“Ah,
tak perlu banyak terimakasih Sya, tadi kamu juga sudah berkali-kali bilang
terimakasih, kan? Nanti habis lhoh, repot” Sani kembali memecah keheningan.
“Kamu
bisa saja San, aku hanya tidak tahu harus bagaimana lagi untuk membalas
kebaikanmu. Kalau tidak keberatan, kamu mampir dulu ke rumahku, ayo masuk ke
dalam.”
“Tidak
perlu bersusah payah memikirkan itu Sya. Aku berterimakasih untuk tawaranmu
itu. Tapi maaf aku tak bisa mampir sekarang.”
“Mampirlah
dulu San, aku akan menjamumu dengan sesuatu yang istimewa.”
“Iya,
sekali lagi terimakasih Sya, kamu tidak perlu repot-repot begitu, mungkin lain
waktu kita bertemu lagi. Sekarang aku harus pergi ke rumah temanku dulu.”
“Oh,
baiklah San. Tidak apa-apa tidak mampir sekarang. Semoga lain kali kita bisa
bertemu lagi dan aku bisa membalas kebaikanmu.”
“Iya
Sya, sekali lagi maaf yaa. Aku pamit pergi sekarang.”
“Yasudah
San, hati-hati di jalan. Terimakasih.”
“Kembali
kasih Sya. Daaaah……….” Sani segera menghidupkan motor dan dia pergi.
Malam
telah memberiku sebuah kenangan indah. Malam telah mempertemukanku dengan Sani.
Malaikat tampan yang baik hati. Malam telah memberiku kesempatan untuk mengenalnya.
***
Aku
kembali datang pada senja. Aku akan menghabiskan sisa sore bersama senja di
danau. Sampai malam datang, aku takkan beranjak pergi. Sembari itu, aku
melakukan ritualku menuliskan sajak-sajak indah. Sajakku takkan pernah habis.
Sajakku selalu saja muncul dan memintaku menuangkannya dalam bait-bait penuh
makna. Sore ini sajakku mengajak untuk menelusuri Malaikat yang bertemu dengaku
malam lalu. Terlukiskan sosok malaikat sempurna pelipur lama dalam bait-bait
sajakku. Tanganku tak hentinya menuliskan kata-kata indah hasil dari pikiran
dan perasaan yang menyatu. Dialah malaikatku, Sani. Kami baru saja bertemu
kemarin malam. Namun, benih-benih cinta mulai tumbuh di hatiku.
Sani
datang dengan cinta. Kedatangannya menimbulkan cinta yang tak pernah kuduga.
Tak sekadar rasa kagum yang kurasakan, lebih dari itu aku sangat
menginginkannya. Betapa bahagianya aku, sore ini aku dipertemukan dengannya
lagi. Hati ini berbunga-bunga. Aku tak sengaja bertemu Sani dalam perjalanan
pulang. Aku melihat dia sedang mengotak-atik motornya di pinggir jalan. Lalu
aku pun menghampirinya.
“Hai,
kita bertemu lagi,” ucapku kepadanya.
Sani
segera menoleh ke arahku. “Hai, kamu Tasya kan?”
“Iya
San, masa kamu lupa? Kemarin kita baru saja bertemu.”
“Iya,
aku ingat kok Sya. Bagaimana keadaanmu sekarang?”
“Aku
baik San, gimana kabarmu? Emm, apa yang terjadi?”
“Aku
tidak baik, lihat saja motorku.”
“Apa
yang terjadi dengan motormu, San?”
“Aku
tidak tahu, tiba-tiba motorku mogok di tengah perjalanan. Aku sedang mencoba
untuk mengeceknya.”
“Sepertinya
kamu pandai persoalan mesin ya, San?”
“Ah,
tidak juga Sya, aku hanya tahu sedikit.”
Malam
masih seindah kemarin, di mana aku dan Sani kembali dipertemukan. Aku sangat
senang. Perasaan aneh selalu muncul setiap kali bertemu dengan Sani. Aku merasa
gugup dan tegang. Dewi Fortuna sepertinya sengaja memberikanku kebahagiaan tak
terkira seperti ini. Aku kembali bertanya-tanya, pertemuanku dengan Sani hanya
sebuah kebetulan atau memang sengaja direncanakan sebagai sebuah takdir? Ah,
sepertinya aku tak perlu banyak bertanya-tanya. Aku hanya harus menjalani semua
ini. Aku hanya berharap suatu saat bunga-bunga yang telah tumbuh di hatiku akan
bermekaran dengan indah, seindah harapanku.
***
Sore
berikutnya aku lebih bersemangat menemui senja menanti malam. Kali ini aku
tidak hanya menanti malam, tetapi menanti Sani datang. Dia sudah berjanji
menemuiku di danau. Kali ini aku tidak akan membuang kesempatan emas untuk
mengetahui lebih dalam tentang Sani. Aku ingin lebih dekat dengannya.
Sani
datang. Dia datang membawa setangkai mawar merah. Hal ini semacam kebetulan
karena aku sangat suka mawar merah. Dia menyapaku dengan hangat dan memberikan
bunga itu dengan penuh ketulusan. Aku menerima setangkai mawar merah dari Sani.
Duduk
berdua di danau bersama senja yang masih cantik menanti malam. Kami saling
bercerita kisah perjalanan hidup yang panjang. Sani bersikap terbuka padaku.
Dia semakin terasa ramah di mataku. Dia adalah sosok yang dapat memecahkan
keheningan suasana. Dia membuatku semakin kagum. Tak henti-hentinya kami
tertawa lepas. Sore itu seolah milik kami berdua.
***
Matahari mengubah
gelapnya langit malam. Sinarnya tersebar ke penjuru alam memberikan kehidupan
bagi semesta. Kicauan burung menambah eloknya pagi. Suaranya masih sama, saling
bersautan seperti kokok ayam di pagi hari. Pagi ini sangat cerah, memberikan
semangat kokoh kepada para pencari berkah. Aku masih terbawa hingar-bingar
kebahagiaan tadi malam. Kebersamaan itu tak bisa hilang dari ingatanku. Ini
akan menjadi kenangan yang sulit untuk hilang. Kadar kebahagiaanku terasa di
puncak rasa bahagia. Semakin lama semakin membuatku takut. Perasaan takut
tiba-tiba muncul. Aku takut aku kehilangan Sani. Aku takut perasaanku yang
besar kepadanya tak bisa kekal di dalam hatinya. Aku takut ini akan menjadi
peluru kehancuranku. Aku sangat takut. Pikiranku kacau. Aku tidak fokus. Aku
cemas dan aku khawatir. Aku seperti hilang kendali.
***
Dua
bulan terasa sangat lama bagiku. Aku masih ingat jelas kali pertama bertemu
dengan Sani. Suara motornya, bau parfumnya, dan aku sudah banyak tahu tentang
dia. Sepertinya aku harus percaya bahwa setiap ada pertemuan pasti ada
perpisahan. Ketakutanku selama ini terjawab juga. Dua bulan masa-masa indah
bersama dengan Sani. Tak sekadar menghabiskan waktu bersama, kami sudah seperti
pasangan yang tak terpisahkan. Dua bulan nampaknya cukup bagi Dewi Fortuna
memberikan waktu bahagiaku. Dewi Fortuna sedang mengujiku. Setelah dia berikan
kebahagiaan luar biasa, lalu dia berikan cobaan yang terasa amat berat. Kami
sama-sama tidak punya pilihan. Aku dan Sani mungkin tidak berjodoh. Malaikatku
itu dijodohkan dengan gadis lain. Aku tak menyalahkan siapa-siapa. Aku hanya
merasa kesal mengapa aku harus kehilangan orang yang telah membuatku takluk.
Ibu Sani sedang sekarat dan dia mengharapkan anak gadis sahabatnya menjadi
pendamping hidup Sani kelak. Demi kesembuhan Ibunya, Sani merelakan
perasaannya. Aku harus mamahami semua ini. Aku tidak boleh egois hanya karena
ingin memiliki Sani sepenuhnya.
Akhirnya
aku memutuskan untuk pindah dari tempat tinggalku. Aku pergi jauh ke kota. Aku
ingin mencari suasana baru di sana. Aku yakin aku dapat melupakan semua
kenangan indah bersama Sani. Aku selalu berharap keputusan yang telah kuambil
tidak sia-sia. Setidaknya aku dapat membalas kebaikan Sani, dulu saat
menolongku. Aku pergi.
***
2014
Riska Ade Oktaviana,
Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia,
UNNES
0 komentar:
Posting Komentar